Senin, 14 Mei 2012

KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH

KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH Perencanaan pembangunan daerah secara khusus diatur dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang mengatur tahapan perencanaan mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang, Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJM daerah), Renstra Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD). Meskipun demikian, Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, mengatur kembali system perencanaan pembangunan daerah yang telah diatur dalam UU 25/2004 sebelumnya, sekaligus mengatur pula proses penganggaran. Walaupun UU 32/2004 tidak mengatur sedetail UU SPPN khususnya perencanaan dan proses penganggaran dalam UU 17 dan 33, namun pengaturan kembali ini menimbulkan kerancuan terhadap penafsirannya. Sementara UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah mengatur perencanaan pembangunan daerah, namun hanya terbatas pada perencanaan tahunan yang meliputi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD), disamping mengatur penyusunan APBD. Perencanaan Pembangunan Daerah Menurut UU 25 2004 Banyak pihak yang mensinyalir UU 25 2004, lahir lebih mempertahankan eksistensi Bappenas. Kekhawatiran yang muncul adalah Bappenas dilikuidasi oleh lahirnya UU No. 17 2003 yang salah satunya memperkuat peran Depkeu. Jika ini yang terjadi, maka kebijakan yang dilahirkan tidaklah berdasarkan kebutuhan yang ada, melainkan sekedar pertarungan kepentingan antara lembaga negara di “Taman Suropati Vs Lapangan Banteng”. Terlepas dari hal ini, perlu melihat bagaimana system perencanaan menurut UU 25 2004 dan melihat permasalahan-permasalahan yang mungkin muncul dalam implementasinya Perencanaan jangka panjang atau RPJP Daerah dengan periode 20 tahunan memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah. Berangkat dari pengalaman orde baru, perencanaan jangka panjang 25 tahunan telah gagal mencapai targetnya. Tahapan pembangunan yang ditargetkan dengan teori pertumbuhan Rostow, tidak pernah terwujud tahapan tinggal landas di negara kita. RPJP daerah sebagai pedoman dalam penyusunan RPJM daerah, secara tidak langsung membatasi kampanye visi, misi dan program calon-calon kepala daerah yang turun dalam Pilkada langsung, mengingat RPJM daerah ini merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Kepala Daerah terpilih. Artinya, para calon Kepala Daerah dalam berkampanye menyampaikan visi-misi dan programnya tidak boleh terlepas dari RPJP daerah. Bayangkan jika, ada 5 calon kepala daerah, maka akan terjadi perebutan isu yang ada dalam RPJP daerah. Disamping itu perencanaan jangka panjang juga memiliki landasan hukum yang lemah. Baik RPJP nasional maupun daerah yang ditetapkan dengan undang-undang atau Perda, dapat saja berubah atau diganti, seiring dengan pergantian pemerintahan nasional maupun daerah, apabila RPJP yang disusun oleh pemerintahan sebelumnya dianggap tidak sesuai dengan ideologi ataupun visi mereka. Akibatnya, RPJP daerah bisa saja terus dirubah pada saat pergantian pemerintahan sehingga tidak berbeda dengan RPJM daerah yang selalu dirumuskan 5 tahunan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah dengan periode 5 tahunan sebagai penjabaran visi, misi dan program kepala daerah terpilih, penyusunannya dengan berpedoman pada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM Nasional. Hal ini memungkinkan membuka peluang ketidak-sinkronan bahkan pertentangan antara RPJM Daerah dengan RPJM Nasional yang merupakan penjabaran visi, misi dan arah pembangunan Presiden terpilih. Misal,Presiden terpilih dari Partai A dengan ideologi X, sementara di daerah tertentu Kepala Daerah terpilih dari Partai B dengan ideologi Y, akibatnya RPJM nasional dapat bertentangan dengan RPJM daerah tersebut. Disamping itu, perbedaan pelantikan antara Presiden dengan Kepala daerah dapat pula menyebabkan ketidaksinkronan antara RPJM Nasional dengan Daerah. Artinya, RPJM Nasional yang berasal dari Presiden yang akan berakhir masa baktinya dalam waktu 3 bulan, dijadikan acuan oleh kepala daerah yang baru dilantik dalam penyusunan RPJM daerahnya. Atau, dalam melakukan kampanye penyampaian visi, misi dan program kepala daerah juga perlu memperhatikan RPJM Nasional yang berasal dari Presiden dengan partai politik lain. Kaitannya, dengan UU 32 tahun 2004, terjadi perbedaan dasar hukum dalam penetapan RPJM daerah, dimana dalam undang-undang ini ditetapkan melalui Perda. Sementara, pada UU SPPN ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (lihat lampiran persandingan undang-undang). Sisi positifnya, baik RPJP maupun RPJM dalam penyusunannya melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) perlu mengikutsertakan masyarakat. Namun, justru terjadi kontradiksi dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), karena tidak disebutkan perlunya keterlibatan masyarakat dalam penyusunannya. Padahal, RKPD sebagai rencana tahunan merupakan perencanaan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang paling up-to-date dan langsung dirasakan masyarakat. Sedangkan, mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan RKPD yang dimaksud dalam undang-undang ini, hanya dalam hal pendanaan pembangunan. Selain itu, RKPD sebagai penjabaran RPJM daerah memiliki derajat hokum lemah, karena hanya ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah, padahal RKPD ini dijadikan pedoman dalam penyusunan APBD yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Artinya, jika terjadi ketidaksinkronan antara RKPD dan APBD, maka yang dijadikan acuan dan memiliki landasan aturan lebih kuat adalah APBD. Sepintas perencanaan yang diatur dalam UU 25 2004 terintegrasi dengan penganggaran, karena dijadikan pedoman RKPD dalam penyusunan RAPBD. Namun, dari segi institusi yang berperan sangat memungkinkan terjadinya overlapping peran antara Bappeda yang mengusung RKPD dengan Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang mengusung arah kebijakan APBD yang juga tercantum dalam RKPD. Kemungkinan, yang terjadi apabila kedua institusi ini tidak melakukan koordinasi maka DPRD akan menerima dua RKPD dari institusi yang berbeda. 1. Perencanaan Pembangunan Berdasatkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 dan Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004 Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Perencanaan pembangunan sangat diperlukan suatu negara salam mencapai tujuan bernegara. Salah satu alasan penting perlunya sistem perencanaan pembangunan nasional adalah untuk menjamin agar pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran. Tujuan sistem perencanaan pembangunan nasional antara lain adalah: (1) mendukung koordinasi antarperlaku pembangunan, (2) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah, (3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan, (4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat, dan (5) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengatur rahapan perencanaan pembangunan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun) maupun jangka pendek (1tahun), baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat (termasuk kementerian/lembaga =KL) maupun pemerintah daerah (termasuk satuan kerja perangkat daerah = SKPD). Pada tingkat daerah, perencanaan pembangunan yang dihasilkan berupa dokumen-dokumen: Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP Daerah) untuk jangka panjang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM Daerah) dan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) untuk jangka menengah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) serta Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) untuk jangka pendek. Beberapa kritikan muncul dengan keluarnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, yaitu bahwa lahirnya peraturan perundangan ini lebih pada upaya mempertahankan eksistensi Bappenas. Seiring munculnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara ada kekhawatiran lembaga perencanan Bappenas akan dihapus dengan semakin memperkuat posisi eksistensi Departemen Keuangan. Regulasi kadang memang lahir tidak berdasarkan kebutuhan yang ada, melainkan lebih karena berbagai pertarungan kepentingan antardepartemen atau kepentingan politis lainnya. Keterkaitan antar dokumen perencanaan berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 ini dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut: Perencanaan Penganggaran Jangka Panjang Jangka Menengah Jangka Pendek Berdasarkan skema ini dapat dijelaskan bahwa: a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah dengan periode waktu 20 tahun memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah. Sehingga kedudukan RPJP Daerah ini menggantikan kedudukan Pola Dasar Pembangunan (POLDAS) Daerah yang selama ini menjadi dokumen induk pemerintah daerah atau ”GBHN-nya” daerah. RPJP Daerah menurut undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) sehingga tidak menjamin bahwa dalam 20 tahun tersebut dokumen RPJP Daerah tidak berubah seiring dengan pergantian pimpinan daerah. Jika setiap 5 tahun sekali diubah maka nasib dokumen RPJP Daerah itu mungkin tidak berbeda dengan RPJP Daerah yang setiap 5 tahun sekali disusun. b. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJM) Daerah merupakan penjabaran visi, misi dan arah pembangunan daerah yang ada dalam RPJP Daerah. RPJM Daerah memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam rangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RPJM Daerah disusun berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional. Prosedur itu memungkinkan terjadi ketidaksinkronan antara RPJM Daerah dengan RPJM Nasional. RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah terpilih sedangkan RPJM Nasional adalah penjabaran visi, misi dan Program Presiden terpilih. Misalnya, Presiden terpilih dati partai A dengan ideologi X, sementara di daerah tertentu Kepala Daerah terpilih dari partai B dengan ideologi Y, sehingga akibatnya RPJM nasional dapat saja berbeda jauh dengan RPJM Daerah tertentu tersebut. c. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) disusun mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah Pusat dan merupakan Penjabaran dari RPJM Daerah. RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Kritikan dalam penyusunan RKPD dalam hal ini adalah keterlibatan masyarakat. Penyusunan RPJP dan RPJM Daerah yang berjangka panjang dan menengah saja diatur supaya melibatkan masyarakat secara aktif. Penyusunan RKPD yang berjangka waktu tahunan dan produk perencanaan yang paling up to date serta langsung dapat dirasakan masyarakat, penyusunannya justru tidak diatur harus melibatkan masyarakat. Demikian pula dengan kekuatan hukum bagi RKPD itu yang dapat ditetapkan hanya dengan Peraturan Kepala Daerah, padahal dokumen RKPD itu menjadi acuan bagi penyusunan RAPBD dan RAPBD memiliki kekuatan hukum ditetapkan dengan Peraturan Daerah. d. Penganggaran program atau kegiatan di daerah dalam undang – undang ini tercermin dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Penyusunan RAPBD dalam peraturan perundangan ini mengacu pada Rencana Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD). Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mengatur tata cara perencanaan pembangunan dan penganggaran di daerah. Kesan yang muncul pada lahirnya undang-undang ini adalah bahwa undang-undang ini mengatur sistem perencanaan pembangunan sebagaimana yang diatur secara rinci dalam Undang–Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional dan pengelolaan keuangan atau penganggaran daerah yang diatur dalam undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Produk dokumen perencanaan yang harus ada di daerah menurut Undang–undang Nomor 32 Tahun 2004 ini tidak jauh berbeda produk dokumen perencanaan berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004. Perbedaan yang sangat membingungkan dari kedua Undang-undang itu adalah pada kekuatan hukum dokumen RPJM Daerah. Pada pasal 19 ayat (3) Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 disebutkan bahwa ”RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik”. Sedangkan pasal 150 ayat (3) huruf e. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa ”RPJP Daerah dan RPJM Daerah ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah”. Perbedaan kekuatan hukum atas dokumen yang sama ini tentu sangat membingungkan aparat perencana maupun pihak lain yang terkait dengan penetapan peraturan perundang-undangan seperti DPRD. Bagi pihak pemerintah tentu lebih memilih menggunakan dasar UU Nomor 25 tahun 2004 karena proses penetapan RPJM Daerah dengan Peraturan Kepala Daerah lebih sederhana. Tetapi bagi legislatif (DPRD) untuk menjamin keterlibatan masyarakat yang direpresentasikan melalui wakilnya, penetapan RPJM daerah dengan Peraturan Daerah (Perda) tentu yang lebih dipilih. Terlepas dari pro kontra penggunaan dasar hukum yang lebih tepat bagi penyusunan dokumen perencanaan di daerah, pada masa yang akan datang daerah akan disibukkan dengan penyusunan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan dari RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra SKPD, RKPD dan Renja SKPD yang semuanya relatif baru. Badan Perencana di daerah mana akan sibuk mempersiapkan dokumen awal RPJP Daerah, RPJM daerah maupun RKPD. 2. Pengelola Keuangan (Penganggaran) Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Undnag-undang Nomor 33 Tahun 2004. UU 17 2003 dan UU 33 2004 seperti saudara kembar dalam pengaturan penyusunan APBD. Hal ini dapat dilihat hampir sebagian pasal dan ayat pada UU 33/2004, khusunya berkaitan dengan penyusunan APBD, merupakan “copy paste” dari UU 17/2003. Perbedaannya, hanyalah pergantian 1-2 kata dan penambahan 1 ayat dalam pasal-pasalnya, namun tetap mengisaratkan hal yang sama. Dari kedua aturan yang memiliki kekuatan hokum yang sama ini, 12 ayat menyatakan atau mengatur hal yang sama. Pada dasarnya, pencatuman kembali aturan kedalam aturan yang lain tidaklah menjadi suatu masalah, namun alangkah baiknya jika pengaturan hal yang sama cukup merujuk aturan yang dimaksud. Sehingga tidak terkesan melakukan pemborosan aturan atau ketidak-kreatifan dalam penyusunan undang-undang, yang dapat menjadi preseden buruk bagi para aparat di daerah dalam penyusunan Perda. Apalagi selama ini telah terbukti banyak daerah yang menyusun Perda hanya Copy paste dari daerah lain atau aturan yang lebih tinggi. Walaupun kedua aturan ini tidak jauh berbeda, namun jika dibandingkan dengan UU 32/2004, dapat terjadi multi-interpretasi dalam pemahamannya. Dari ke-empat undang-undang di atas, seperti tergambarkan dalam alur perencanaan dan penganggaran, maka tidak menutup kemungkinan perencanaan dan penganggaran di daerah akan berbeda-beda tergantung dari undang-undang yang digunakannya. Multi-intepretasi dari perbandingan alur tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pada UU 17/2003 dan UU 33/2004, Renja SKPD disusun berdasarkan prestasi kerja, sementara UU 25/2004 dan UU 32/2004 tidak memerintahkan hal ini. UU 32 2004, menyatakan RKA SKPD yang disusun berdasarkan prestasi kerja. Pertanyaannya, apakah Renja SKPD dan RKPD sama. 2. Pada UU 25/2004, Renja SKPD berpedoman pada Renstra SKPD dan mengacu pada RKPD. Sementara pada UU 32/2004 Renja SKPD dirumuskan dari Renstra SKPD, tanpa memerintahkan mengacu kepada RKPD. Sedangkan pada UU 33/2004, menyatakan Renja SKPD penjabaran dari RKPD tanpa berpedoman pada Renstra SKPD 3. Pada UU 32 2004, KDH menetapkan prioritas dan plafon. Sementara pada UU 17/2003 dan UU 33/2004, prioritas dan plafon dibahas bersama DPRD dan Pemda 4. Pada UU 32 2004, prioritas dan plafon yang telah ditetapkan kepala daerah dijadikan dasar penyusunan RKA SKPD. Sedangkan UU 17 2003 dan UU 33 2004, prioritas dan palofon sementara yang dibahas DPRD dengan Pemda yang dijadikan acuan penyusunan RKA SKPD 5. Pada UU 32/2004 RKA SKPD disampaikan kepada PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah) sebagai dasar penyusunan RAPBD. Sedangkan UU 17/2003 dan UU 33/2004 RKA SKPD disampaikan ke DPRD untuk dibahas, hasilnya disampaikan ke PPKD 6. Pada UU 17 2003, hak DPRD untuk mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dan antisipasinya jika RAPBD tidak disetujui. Sedangkan pada UU 33 2004 dan UU 32 2004 tidak memerintahkan hal ini. Bab IV Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 yang terdiri dari pasal 16 sampai dengan pasal 20 mengatur tentang Penyusunan dan Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proses penganggaran daerah pada undang-undang ini dilakukan dengan urutan : a. Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD kepada DPRD (Pasal 18, ayat 1) b. DPRD membahas kebijakan umum APBD dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. (Pasal 18, ayat 2) c. Pemerintah Daerah dan DPRD menyepakati kebijakan umum APBD. (Pasal 18, ayat 3) d. Pemerintah Daerah bersama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk acuan SKPD. (Pasal 18, ayat 3) e. Kepala SKPD menyusun RKA SKPD dengan pendekatan prestasi kerja yang dicapai. ( Pasal 19, ayat 1 dan 2) f. RKA SKPD diserahkan kepada DPRD untuk dibahas salam pembicaraan pendahuluan RAPBD. (Pasal 19, ayat 5) g. Hasil pembahasan RKA SKPD disampaikan kepada PPKD sebagai bahan penyusunan RAPBD (Pasal 19, ayat 5) h. Pemerintah mengajukan RAPBD kepada DPRD. (Pasal 20, ayat 1) i. DPRD membahas dokumen RAPBD dan dapat mengajukan usul. (Pasal 2, ayat 2 dan 3) j. DPRD mengambil keputusan tentang Raperda APBD untuk menjadi Perda APBD (Pasal 20, ayat 4 dan 5) Secara skematis proses penganggaran daerah berdasarkan Undang–Undang Nomor 17 tahun 2003 dapat digambarkan sebagai berikut: Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan pengganti Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pokok-pokok muatan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 merupakan penegasan dan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 terutama tentang: a. Penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan keuangan Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai asas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, b. Penambahan jenis Dana Hasil dari sektor Pertambangan Panas Bumi, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 c. Pengelompokan Dana Reboisasi yang semula termasuk dalam komponen Dana Alokasi Khusus menjadi Dana Bagi Hasil d. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum e. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Khusus f. Penambahan Pengaturan Hibah dan Dana Darurat g. Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme pinjaman daerah, termasuk obligasi daerah h. Pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan i. Penegasan pengaturan sistem informasi keuangan daerah, dan j. Prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam undang-undang ini dipertegas dengan pemberian sanksi. Proses penganggaran menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 ini tidak jauh berbeda dengan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Bahkan berkenaan dengan penyusunan dan penetapan APBD, dokumen undang-undang ini hampir merupakan copy dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003. Ada kurang lebih 12 ayat dalam kedua undang-undang ini yang menyatakan atau mengatur perkara yang sama, dan perbedaan keduanya hanyalah pergantian 1 atau 2 kata saja. Pengaturan perkara yang sama dengan mencantumkan kembali pada peraturan perundang-undangan dengan kekuatan hukum yang sama ini lebih mengesankan adanya pemborosan aturan atau ketidakkreatifan dalam penyusunan undang-undang. Perbedaan yang sangat menonjol dalam proses penganggaran kedua undang-undang ini adalah dicantumkannya hak usul DPRD terhadap pengajuan RAPBD pemerintah daerah sehingga dapat mempengaruhi jumlah kegiatan dan pendanaan dalam RAPBD. Prosedur penganggaran yang coba diatur oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 juga terkesan membingungkan bagi aparat perencanaan dan pengenggaran di daerah. Jika dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2004 dijelaskan bahwa Prioritas dan Plafon Anggaran dibahas bersama

Sabtu, 12 Mei 2012

Sejarah Perencanaan Pembangunan pada orde lama sampai orde Baru. a. Perencanaan Pembangunan pada Orde Lama Pada masa Orde Lama, strategi pembangunan didasarkan atas pendekatan perencanaan pembangunan yang lebih menekankan pada usaha pembangunan politik, hal ini sesuai dengan situasi saat itu yaitu masa perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan nasional sehingga tidak memungkinkan pelaksanaannya secara baik. Usaha-usaha perencanaan ekonomi masa orde lama: 1. Tahun 1947 dimulai suatu perencanaan beberapa sector ekonomi dan diberi nama Plan Produksi Tiga Tahun RI untuk tahun 1948, 1949, dan 1950, ditujukan terhadap bidang-bidang pertanian, peternakan, perindustrian dan kehutanan. Dan juga beberapa program lainnya seperti a. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947. Badan ini dibentuk atas usul dari menetri kemakmuran AK. Gani. Badan ini merupakan badan tetap yang bertugas membuat rencana pembangunan ekonomi untuk jangka waktu 2 sampai 3 tahun yang akhirnya disepakati Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun. Bangunan umum vital milik asing dinasionalisasikan dengan pembayaran ganti rugi Perusahaan milik Jepang akan disita sebagai ganti rugi terhadap RI. Perusahaan modal asing lainnya dikembalikan kepada yang berhak sesudah diadakan perjanjian Republik Indonesia dengan Belanda. Badan ini bertujuan untuk menasionalisasikan semua cabang produksi yang telah ada dengan mengubah ke dalam bentuk badan hukum. Hal ini dilakukan dengan harapan agar Indonesia dapat menggunakan semua cabang produksi secara maksimal dan kuat di mata hukum internasional. Pendanaan untuk Rencana Pembangunan ini terbuka baik bagi pemodal dalam negeri maupun pemodal asing. Inti rencana ini adalah agar Indonesia membuka diri terhadap penanaman modal asing dan melakukan pinjaman baik ke dalam maupun ke luar negeri. Untuk membiayai rencana pembangunan ekonomi tersebut pemerintah membuka diri terhadap penanaman modal asing, mengerahkan dana masyarakat melalui pinjaman nasional, melalui tabungan masyarakat, serta melibatkan badan-badan swasta dalam pembangunan ekonomi. Dan untuk menampung dana tersebut dibentuk Bank Pembangunan. Perusahaan patungan (merger) diperkenankan berdiri sementara itu tanah partikelir dihapuskan. Perkembangannya April 1947 badan ini diperluas menjadi Panitia Pemikir Siasat Ekonomi yang bertugas mempelajari, mengumpulkan data, dan memberikan saran kepada pemerintah dalam merencanakan pembangunan ekonomi dan dalam rangka melakukan perundingan dengan pihak Belanda. Rencana tersebut belum berhasil dilaksanakan dengan baik karena situasi politik dan militer yang tidak memungkinkan, yaitu Agresi Militer Belanda I dan Perjanjian Linggarjati yang menyebabkan sebagian besar wilayah Indonesia yang memiliki potensi ekonomi jatuh ke tangan Belanda dan yang tersisa sebagian besar tergolong sebagai daerah miskin dan berpenduduk padat (Sumatera dan Jawa). Hal tersebut ditambah dengan adanya Pemberontakan PKI dan Agresi mIliter Belanda II yang mengakibatkan kesulitan ekonomi semakin memuncak. b. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 Program ini bertujuan untuk mengurangi beban negara dalam bidang ekonomi, selain meningkatkan efisiensi. Rasionalisasi meliputi penyempurnaan administrasi negara, angkatan perang, dan aparat ekonomi. Sejumlah angkatan perang dikurangi secara drastis untuk mengurangi beban negara di bidang ekonomi dan meningkatkan effisiensi angkatan perang dengan menyalurkan para bekas prajurit pada bidang-bidang produktif dan diurus oleh kementrian Pembangunan dan Pemuda. Rasionalisasi yang diusulkan oleh Mohammad Hatta diikuti dengan intensifikasi pertanian, penanaman bibit unggul, dan peningkatan peternakan. c. Rencana Kasimo (Kasimo Plan) Program ini disusun oleh Menteri Urusan Bahan Makanan I.J.Kasimo. Program ini berupa Rencana Produksi Tiga tahun (1948-1950) mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Inti dari Kasimo Plan adalah untuk meningkatkan kehidupan rakyat dengan menigkatkan produksi bahan pangan. Rencana Kasimo ini adalah : Menanami tanah kosong (tidak terurus) di Sumatera Timur seluas 281.277 HA, Melakukan intensifikasi di Jawa dengan menanam bibit unggul, Pencegahan penyembelihan hewan-hewan yang berperan penting bagi produksi pangan. Di setiap desa dibentuk kebun-kebun bibit 2. Tahun 1952 dimulai usaha-usaha perencanaan yang lebih bersifat menyeluruh, biarpun intinya adalah tetap sector public 3. Tahun 1956-1960 telah berhasil disusun suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun. Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah. RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena : • Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot. • Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi. • Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing. Pembangunan Lima Tahun (RPLT) 1956-1960 yang disusun Depernas atas masukan dari Biro Perancang Negara. RPLT merupakan dokumen rencana pembangunan di Indonesia yang pertama memanfaatkan cara berpikir teori pembangunan modern ala Harrod–Domar. Namun akibat situasi sosial, politik, dan keamanan yang kurang stabil, mengakibatkan hasil pembangunan dalam Periode ini tidak maksimal akibat situasi politik yang lebih mendominasi dibandingkan perbaikan ekonomi. Hasil-hasil yang diraih pun dapat dipilah dari segi politik dan ekonomi. Dari segi politik yang utama adalah (1) menjadikan Indonesia tulang-punggung kekuatan politik yang sangat disegani di Dunia; dan (2) Indonesia mempunyai pengalaman dalam menjalankan kehidupan demokrasi multipartai dan pemerintahan parlementer. Sementara dari segi ekonomi telah dicapai: (1) meningkatnya investasi pemerintah hingga melampui sasaran lima tahunan; (2) produksi beras dan jagung melebihi target; (3) peremajaan karet rakyat mengalami kemajuan di tengah melemahnya produksi perkebunan akibat ditinggalkan para pengusaha Belanda; (4) beberapa produksi peternakan telah mencapai sasaran; (5) produksi hasil–hasil industri kurang mencapai sasaran; (6) pengeluaran untuk sektor perhubungan telah melampaui target karena mendapat prioritas tinggi dalam APBN dan adanya dana dari pampasan perang; (7) realisasi investasi di sektor listrik selama tiga tahun baru mencapai sepertiga dari yang direncanakan; dan (8) pelaksanaan perbaikan kualitas pendidikan masih jauh di bawah sasaran walaupun telah dikeluarkan biaya yang melebihi rencana. Periode ini ditutup dengan situasi politik yang genting dan memaksa dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 4. Tahun 1961-1969 berhasil disusun Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana Dalam rapat pleno kelima tanggal 3 Desember 1960 Sidang Pertama diBandung, setelah membahas:“Rancangan Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional SemestaBerencana Delapan Tahun 1961-1969” hasil karya Depernas, dan menelitinya atasdasar Amanat Pembangunan Presiden pada tanggal 28 Agustus 1959 yangdiucapkan dan yang tertulis sebagai garis-garis besar daripada haluanpembangunan:Menimbang : 1 bahwa perlu segera ditetapkan Garis-garis Besar PolaPembangunan serta ketentuan-ketentuan pokok pelaksanaannya; 2. bahwa Pembangunan Nasional Semesta Berencana adalah suatu pembangunan dalam masa peralihan, yang bersifat meyeluruh untuk menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau Masyarakat Sosialis Indonesia di mana tidak terdapat penindasan atau penghisapan atas manusia oleh manusia, guna memenuhi Amanat Penderitaan Rakyat; 3. bahwa Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun : 1961 - 1969 adalah pembangunan tahap pertama, yang nasional, semesta, berencana dan berisikan tripola untuk meletakkan dasar-dasar pembangunan rokhaniah dan jasmaniah yang sehat dan kuat serta pembangunan tata perekonomian nasional yang sanggup berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada pasang surutnya pasaran dunia; 4. bahwa syarat pokok untuk pembangunan rokhaniah yang sehat dan kuat adalah antara lain menegakkan kembali kepribadian dan kebudayaan Indonesia yang berdasarkan semangat demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan gotong royong seperti dijelaskan dalam dasar Negara Pancasila, dan mengutamakan kesadaran hidup bersahaja dan kejujuran sesuai dengan ajaran ke- Tuhanan Yang Maha Esa. 5. bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian nasional adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme. imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan "landreform" menurut ketentuan-ketentuan Hukum Nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai oleh negara; b. Perencanaan Pembangunan pada Orde Baru Sejak Maret 1966. Pemerintah mengarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial. Pemerintah meninggalkan idiologi komunis dan menjalin hubungan dengan Negara barat dan menjadi anggota PBB, IMF, dan Bank Dunia. Kondisi perekonomian Indonesia: (a) ketidakmampuan membayar hutang LN US $32 Milyar (b) Penerimaan ekspor hanya setengah dari pengeluaran untuk impor (c) Pengendalian anggaran belanja dan pemungutan pajak yang tidak berdaya (d) Inflasi 30 – 50 persen per bulan (e) Kondisi prasarana perekonomian yang bururk (f) Kapasitas produktif sektor industri dan ekspor menurun Prioritas kebijakan ekonomi: (a) Memerangi hiperinflasi (b) Mencukupkan persediaan pangan (beras) (c) merehabilitasi prasaran perekonomian (d) Peningkatan ekspor (e) Penyediaan lapangan kerja (f) Mengundang investor asing Program ekonomi orde baru mencakup: (a)Jangka pendek • Juli – Desember 1966 untuk program pemulihan • Januari – Juni 1967 untuk tahap rehabilitasi • Juli – Desember 1967 untuk tahap konsolidasi • Januari – Juni 1968 untuk tahap stabilisasi Dalam rangka mendukung kebijakan jangka pendek, pemerintah: (a) Memperkenalkan kebijakan anggaran berimbang (balanced budget policy) (b) Pembentukan IGGI (c) Melakukan reformasi terhadap sistem perbankan • UU tahun 1967 tentang Perbankan • UU tahun 1968 tentang Bank Sentral • Uu tahun 1968 tentang Bank Asing (d) Menjadi anggota kembali IMF (e) Pemberian peran yang lebih besar kepada bank bank dan lembaga keuangan lain sebagai ’”agen pembangunan”. Dengan memobilisasi tabungan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan memainkan peranan penting untuk pembangunan pasar uang dan pasar modal. • Skala Prioritasnya 1) Pengendalian inflasi 2) Pencukupan kebutuhan pangan 3) Rehabilitasi prasarana ekonomi 4) Peningkatan kegiatan ekspor 5) Pencukupan kebutuhan sandang • Komponen Rencananya 1) Rencana fisik dengan sasaran utama : (a) Pemulihan dan peningkatan kapasitas produksi (pangan, ekspor dan sandang) (b) Pemulihan dan peningkatan prasrana ekonomi yang menunjang bidang-bidang tersebut. 2) Rencana Moneter dengan sasaran utama : (1) Terjaminnya pembiayaan rupiah dan devisa bagi pelaksanaan rencana fisik. (2) Pengendalian inflasi pada tingkat harga yang relatif stabil sesuai dengan daya beli rakyat. • Tindakan dan Kebijaksanaan Pemerintah 1) Tindakan pemerintah “banting stir” dari ekonomi komando ke ekonomi bebas demokratis; dari ekonomi tertutup ke ekonomi terbuka; dari anggaran defisit ke anggaran berimbang. (Mubyarto, 1988). 2) Serangkaian kebijaksanaan Oktober 1966, Pebruari 1967 dan Juli 1967 antara lain : (1) Kebijaksanaan kredit yang lebih selektif (penentuan jumlah, arah, suku bunga) (2) Menseimbangkan/ menurunkann defisit APBN dari 173,7% (1965), 127,3% (1966), 3,1% (1967) dan 0% (1968). (Suroso, 1994). 3) Mengesahkan / memberlakukan undang-undang : (1) UU Pokok Perbankan No. 14/ 1967 (2) UU Perkoperasian no. 12/ 1967 (3) UU Bank Sentral No. 13/ 1968 (4) UU PMA tahun 1967 dan UU PMDN tahun 1968 (5) Membuka Bursa Valas di Jakarta 1967. (b)Jangka panjang yang berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) mulai April tahun 1969. Mulai 1 April 1969, Program pembangunan jangka panjang terdiri dari tahapan-tahapan REPELITA dengan sasaran: (a) stabilitas perekonomian (b) pertumbuhan ekonomi (c) pemerataan hasil pembangunan REPELITA I  1969 – 1974 dengan sasaran: (a) stabilitas perekonomian; (b) pertumbuhan ekonomi; dan (c) pemerataan hasil pembangunan REPELITA II  1974 – 1979 dengan sasaran: (a) pertumbuhan ekonomi; (b) pemerataan hasil pembangunan; dan (c) stabilitas perekonomian REPELITA III  1979 – 1984, REPELITA IV  1984 – 1989, REPELITA V  1989 – 1994, REPELITA VI  1994 – 1999 dengan sasaran: (a) pemerataan hasil pembangunan; (b) pertumbuhan ekonomi dan (c) stabilitas perekonomian Prestasi Ekonomi dan Kondisi Ekonomi Per REPELITA. REPELITA I dan II Prestasi: • Pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun • Investasi meningkat dari 11 persen menjadi 24 persen dari PDB selama 10 tahun • Kontribusi tabungan meningkat dari 23 persen menjadi 55 persen • Sumber penghasilan utama devisa adalah ekspor minyak bumi kurang lebih 2/3 dari total penerimaan • Inflasi rata-rata 17 persen • Porsi pelunasan hutang 9,3 persen dan 11,8 persen dari pengeluaran Kondisi: • Boom minyak tahun 1973 dan 1978 Kibijakan: • Devaluasi rupiah dari Rp 415 menjadi Rp 625/$ REPELITA III Prestasi: • Ekspor neto migas turun 38 persen • Ekspor nonmigas turun 30 persen • Impor nonmigas meningkat • Neraca berjalan (current account) dari suprlus US $2.7 milyar menjadi difisit US $6.7 milyar • PDB tumbuh hanya 2,24 persen • Laju inflasi rata-rata 9 persen • Porsi pelunasan hutang 17,3 persen dari pengeluaran Kondisi: • Boom minyak tahun 1982/1983 • Kemelut minyak dan resesi dinegara industri menyebabkan OPEC memotong harga dan produksi minyak • Devaluasi 28 persen tahun 1983 Kibijakan: • Penghematan anggaran belanja • Penambahan pinjaman luar negeri • Penggalakan ekspor nonmigas • Pembatasan impor barang mewah • Pengurangan perjalanan ke luar negeri • Penggalakan penggunaan barang dalam negeri • Penjadualan ulang dan pembatalan 50 persen proyek sektor publik • Gaji pegawai negeri tidak dinaikkan • Penaikan harga bahan bakar minyak tahun 1984 dengan mengurangi subsidi • Pengurangan subsidi atas pupuk, pesticida, dan pangan • Pembaharuan UU perpajakan tahun 1984 • Deregulasi parcial sistem perbankan dengan menyerahkan penentuan tingkat bunga kepada masing-masing bank peniadaan sistem pagu kredit REPELITA IV Prestasi: • Pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,32 persen • Beban hutang luar negeri menjadi membesar • Penghematan anggaran dan pengawasan serta penertiban penggunaan anggaran • Perkembangan pasar modal dan sektor perbankan yang luar biasa • Laju inflasi rata-rata 9 persen • Porsi pelunasan hutang 41,2 persen dari pengeluaran Kondisi: • Harga minyak turun menjadi US $10 Kibijakan: • Deregulasi dan debirokratisasi untuk mengurangi cambur tangan pemerintah untuk memberikan kesempatan pihak swasta dan investor asing dalam pembangunan • Devaluasi untuk meningkatkan ekspor non migas REPELITA V Prestasi: • Pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,7 persen • Ekspor komoditas non migas meningkat • Porsi pelunasan hutang 44,6 persen dari pengeluaran Kondisi: • Harga minyak turun menjadi US $10 Kibijakan: • Deregulasi dan debirokratisasi terus dilakukan untuk menekan ekonomi biaya tinggi dan meningkatkan efisiensi nasional REPELITA VI Kibijakan: • Pemberian paket-paket deregulasi dalam bentuk penyusunan dan perbaikan undang-undang yakni UU No. 25 tahun 1990 tentang koperasi, UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dan UU No. 9-12 tentang perpajakan Prinsip Anggaran Berimbang Dinamis. Berimbang yakni pengeluaran rutin dan pembangunan selalu sama dengan seluruh penerimaan negara Dinamis yakni jika penerimaan > pengeluaran, maka pengeluaran dapat ditingkatkan. Jika penerimaan < pengeluaran, maka harus dilakukan penyesuaian pengeluaran. Era Pembangunan Jangka Panjang II dan Globalisasi dalam kurun waktu 1994 – 2019. Era globalisasi tahun 2020 Berdasarkan putaran Uruguay, segala bentuk proteksi perdagangan baik barang maupun jasa harus dihapuskan Target REPELITA VI tingkat rata-rata pertumbuhan per tahun: • Pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan 6,2 persen • Sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan 3,5 persen • Sektor industri 9 persen • Sektor manufaktur diluar migas 10 persen • Sektor jasa 6,5 persen • Inflasi rata-rata 5 persen • Ekspor nonmigas 16,5 persen • Ekspor manufaktur 17,5 persen • Debt Service Ratio 20 persen • PDB Rp 2,150 trilliun • Nilai Investasi Rp 660,1 trilliun atau 30,7 % dari PDB • Dana dalam negeri : (a) Pemerintah (25,5 %) Rp 169,4 trilliun (b) Swasta (69 %) Rp 454,1 trilliun • Dana luar negeri (5,5 %) Rp 36,6 trilliun Era PJPT II, BAPPENAS telah mensimulasikan 2 skenario terhadap pertumbuhan ekonomi; (a) Skenario pertama (Optimis) menyatakan REPELITA VI sampai X, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7,9 persen per tahun, penekanan pertumbuhan penduduk dari 1,6 % akhir REPELITA VI menjadi 0,9 % akhir REPELITA X, pengangguran REPELITA VI 2,2 % dan akhir REPELITA X 0,5 %, dan akhir REPELITA X pendapatan perkapita Indonesia US $3,000. (b) Skenario kedua (Pesimis) menyatakan REPELITA VI sampai X, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 6,8 persen per tahun, penekanan pertumbuhan penduduk dari 1,6 % akhir REPELITA VI menjadi 0,9 % akhir REPELITA X, pengangguran REPELITA VI 2,6 % dan akhir REPELITA X 4 %, dan akhir REPELITA X pendapatan perkapita Indonesia US $2,330 Kondisi utama yang harus dipenuhi untuk pembangunan ekonomi yang baik: a) Kemauan politik yang kuat b) Stabilitas ekonomi dan politik c) SDM yang lebih baik d) Sistem politik dan ekonomi yang terbuka yang beroorientasi ke barat e) Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Nama : ANDI ISMAIL HAMZAH NPM : 2010 232 00 0090 1) Jelaskan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kab/Kota 2) Jelaskan : a. Tugas dan fungsi DPRD b. Hubungan DPRD dan Eksekutif 3) Jelaskan : a. Sentralisasi b. Desentralisasi - Devolusi - Dekonsentrasi - Delegasi - Pripatisasi Jawab: 1) Kewenangan Pusat terdiri dari tentang :  Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro;  Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola lingkungan hidup;  Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;  Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang lingkungan hidup;  Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;  Teknologi tinggi strategi seperti menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi strategi tinggi yang menimbulkan dampak;  Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan konservasi antar propinsi dan antar negara;  Standarisasi nasional;  Pelaksanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomendasi laboratorium lingkungan dsb. Kewenangan Propinsi terdiri dari :  Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota;  Kewenangan dalam bidang tertentu, seperti perencanaan pengendalian pembangunan regional secara makro, penentuan baku mutu lingkungan propinsi, yang harus sama atau lebih ketat dari baku mutu lingkungan nasional, menetapkan pedoman teknis untuk menjamin keseimbangan lingkungan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang propinsi dan sebagainya.  Kewenangan dekonsentrasi seperti pembinaan AMDAL untuk usaha atau dan kegiatan di luar kewenangan pusat. Kewenangan Kabupaten/Kota terdiri dari :  Perencanaan pengelolaan lingkungan hidup;  Pengendalian pengelolaan lingkungan hidup;  Pemantauan dan evaluasi kualitas lingkungan;  Konservasi seperti pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung dan konservasi, rehabilitasi lahan dsb.  Penegakan hukum lingkungan hidup 2) Tugas DPRD 1. Membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mencapai tujuan bersama. 2. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama dengan kepala daerah. 3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah. 4. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada menteri dalam negeri Republik Indonesia melalui Gubernur. 5. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah. 6. Meminta laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam pelaksanaan tugas desentralisasi. 7. Tugas-tugas lain yang diberikan oleh undang-undang. DPRD melakukan tiga fungsi utama, yaitu: Fungsi legislasi; Fungsi penganggaran; dan Fungsi pengawasan. Fungsi Legislasi Fungsi legislasi merupakan suatu proses untuk mengakomodasi berbagai kepentingan para pihak (stakeholders), untuk menetapkan bagaimana pembangunan di daerah akan dilaksanakan. Fungsi legislasi bermakna penting dalam beberapa hal berikut: •Menentukan arah pembangunan dan pemerintahan di daerah; •Dasar perumusan kebijakan publik di daerah; •Sebagai kontrak sosial di daerah; •Pendukung Pembentukan Perangkat Daerah dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah Disamping itu, dalam menjalankan fungsi legislasi ini DPRD berperan pula sebagai policy maker, dan bukan policy implementer di daerah. Artinya, antara DPRD sebagai pejabat publik dengan masyarakat sebagai stakeholders, ada kontrak sosial yang dilandasi dengan fiduciary duty. Dengan demikian, fiduciary duty ini harus dijunjung tinggi dalam setiap proses fungsi legislasi. Dalam praktik dan realita saat ini, proyeksi good public governance pada fungsi legislasi saat ini masih membutuhkan banyak penataan dan transformasi ke arah yang lebih baik. Peningkatan performa tersebut dapat dilakukan antara lain dengan: Peningkatan pemahaman tentang perencanaan dalam fungsi legislasi; Optimalisasi anggota DPRD dalam mengakomodasi aspirasi stakeholders; Ditumbuhkannya inisiatif DPRD dalam penyusunan RAPERDA; Ditingkatkannya kemamapuan analisis (kebijakan publik & hukum) dalam proses penyusunan RAPERDA; Pemahaman yang lebih baik atas fungsi perwakilan dalam fungsi legislasi; dll. Fungsi Penganggaran Fungsi penganggaran merupakan penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersama-sama pemerintah daerah. Dalam menjalankan fungsi ini, DPRD harus terlibat secara aktif, proaktif, dan bukan reaktif & sebagai legitimator usulan APBD ajuan pemerintah daerah; Fungsi penganggaran ini perlu memperoleh perhatian penuh, Adapun good public governance pada fungsi penganggaran saat ini dapat lebih berperan secara konkrit apabila memperoleh perhatian dan kecermatan dalam beberapa hal berikut: Penyusunan KUA (Kebijakan Umum APBD), antara lain: - Efektifitas pembentukan jaring asmara; - Eliminasi kepentingan individu, kelompok, dan golongan; - Pembenahan penyusunan RPJMD dan Renstra-SKPD; - Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan DPRD dalam merumuskan KUA Penyusunan PPAS, antara lain: - Akuntabilitas terhadap nilai anggaran; - Kelengkapan data-data pendukung; - Peningkatan kapasitas anggota DPRD dan pemerintah daerah dalam menyusun prioritas urusan dan program; - Kesesuaian antara prioritas program dengan kebutuhan rakyat Fungsi Pengawasan Fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Fungsi ketiga ini bermakna penting, baik bagi pemerintah daerah maupun pelaksana pengawasan. Bagi pemerintah daerah, fungsi pengawasan merupakan suatu mekanisme peringatan dini (early warning system), untuk mengawal pelaksanaan aktivitas mencapai tujuan dan sasaran. Sedangkan bagi pelaksana pengawasan, fungsi pengawasan ini merupakan tugas mulia untuk memberikan telaahan dan saran, berupa tindakan perbaikan. Disamping itu, pengawasan memiliki tujuan utama, antara lain: • Menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana; • Menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan; • Menumbuhkan motivasi, perbaikan, pengurangan, peniadaan penyimpangan; • Meyakinkan bahwa kinerja pemerintah daerah sedang atau telah mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Namun demikian, praktik good public governance pada fungsi pengawasan saat ini masih membutuhkan beberapa improvement agar dapat mencapai tujuannya tersebut. Fungsi pengawasan dapat diselaraskan dengan tujuannya, antara lain dengan melakukan beberapa hal berikut: • Memaknai secara benar fungsi dan tujuan pengawasan, sehingga dapat menjadi mekanisme check & balance yang efektif; • Optimalisasi pengawasan agar dapat memberikan kontribusi yang diharapkan pada pengelolaan pemerintahan daerah; • Penyusunan agenda pengawasan DPRD; • Perumusan standar, sistem, dan prosedur baku pengawasan DPRD; • Dibuatnya mekanisme yang efisien untuk partisipasi masyarakat dalam proses pengawasan, dan saluran penyampaian informasi masyarakat dapat berfungsi efektif sebagai salah satu alat pengawasan. Hubungan DPRD dan Eksekutif DPRD akan lebih menonjol dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi perwakilan, sedangkan perangkat Daerah dan Kepala Daerah akan lebih menonjol dalam implementasi kebijakan, penegakan Peraturan, dan pemberian pelayanan publik kepada warga masyarakat. Karena itu tidak mengherankan bila hubungan DPRD dengan jajaran Eksekutif Daerah akan lebih berlangsung dinamis karena penuh perdebatan dan adu argumentasi, tanya jawab yang hidup dan transparan, dan konflik kepentingan. DPRD misalnya agar APBD dan Peraturan Daerah lainnya agar dirumuskan secara operasioanal tidak saja menyangkut kewenangan Legislatif mereka tetapi juga karena harus memperjuangkan kepentingan konstituennya dalam APBD dan Peraturan Daerah lainnya. Kepala Daerah dan Perangkat Daerah mungkin sukar menerima kenyataan ini mengingat pada masa lalu kalangan Eksekutiflah yang secara praktis menentukan arah dan bentuk APBD dan Peraturan Daerah lainnya. Kalangan Eksekutif harus belajar menerima kenyataan yang seharusnya itu. Tetapi kalangan Eksekutif tidaklah begitu saja kehilangan pengaruh karena bertindak proporsional perangkat Daerah justru unggul dalam informasi dan keahlian. Dialek kita antara aspirasi masyarakat yang diperjuangkan oleh para anggota DPRD dan program yang disusun berdasarkan informasi (yang lengkap dan akurat) dan keahlian yang dibawakan oleh pihak jajaran Eksekutif justru akan melahirkan keputusan politik yang terbaik menurut ruang dan waktu serta dapat dilaksanakan. Hubungan DPRD dan jajaran Eksekutif yang dinamis juga terjadi dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi perwakilan DPRD. Dari ketiga fungsinya tersebut, kemungkinan besar pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi perwakilanlah yang akan sangat menonjol. Berangkat dari kewenangan DPRD meminta keterangan yang akan disertai ancaman sanksi bagi yang menolaknya, keberanian para anggota DPRD semakin meningkat baik untuk menggunakan hak meminta keterangan kepada Pemda, hak mengajukan pertanyaan pendapat, hak mengadakan penyelidikan dan hak meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah maupun mengajukan pertanyaan kritis secara transparan. Hal ini tidak saja memerlukan sikap dan perilaku dari pihak Eksekutif karena pada masa lalu mereka mudah sekali menjinakkan pertanyaan anggota DPRD tetapi juga memerlukan pendekatan baru dalam merespon pertanyaan yang kritis dari para anggota DPRD. Pendekatan baru yang dimaksud adalah profesionalisme dalam melaksanakan tugas mentaati hukum dalam menggunakan kewenangan, dan transparan dan kejujuran dalam sikap dan tindakan. DPRD pada hakekatnya di samping merupakan badan resmi yang mewakili rakyat, juga sebagai mitra / partner eksekutif dalam merumuskan kebijaksanaan dalam rangka menjalankan roda pemerintahan daerah, selain itu kedua lembaga itu juga mempunyai kedudukan yang sejajar. 3. Sentralisasi Secara etimologi Sentralisasi berasal dari bahasa inggris yang berakar dari kata Centre yang artinya adalah Pusat, tengah Secara terminology sentralisasi adalah 1. Menurut B.N. Marbun dalam bukunya Kamus Politik mengatakan bahwa sentralisasi yang paham nya kita kenal dengan sentralisme adalah pola kenegaraan yang memusatkan seluruh pengambilan keputusan politik ekonomi, social di satu pusat [1] 2. Sentralisasi adalah seeluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat [2] Berdasarkan defenisi diatas bisa kita interpretasikan bahwa sistem sentralisasi itu adalah bahwa seluruh decition (keputusan/Kebijakan) dikeluarkan oleh pusat, daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut uu. menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi[3]. sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama. . Definisi Desentralisasi Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang pada level bawah pada suatu suatu organisasi. Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pemerintahan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Adapun mengenai tujuan dari desentralisasi yang berdasarkan kepada landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintah daerah sebagaimana yang dimaksud oleh The Liang Gie (Jose Riwu Kaho, 2001 Hal 8 ) adalah 1. dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan desentralisasi dimaksud untuk mencegah penumpukan kekuasaan di suatu daerah 2. Dalam bidang Politik, dsentralisasi dianggap sebagai pendemokrasian, dalam rangka menarik minat rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan (pendidikan Politik) 3. Dari persfektif teknik organisatoris pemerintah desentralisasi dimaksud unutk mencapai efensiensi 4. Dari sudut kultur desentralisasi diharapkan perhatian sepenuh nya ditumpahkan kepada daerah, seperti, geografi, ekonomi, politk, kondisi masyarakat, kultur 5. diahrapakan pemerintah daerah lebih memfokuskan pembangunan di daerah tersebut Dekonsentrasi Desentralisasi dalam bentuk dekosentrasi (Deconcentration)menurut Rondinenlly, pada hakikat nya hanya merupakan pembagian kewenagan dan tanggung jawab administratif antara depertemen pusat dengan penjabat pusat yang ada di lapangan, jadi dekonsentrasi itu hanya merupakan pergeseran volume pekerjaan dari depertemen pusat kepada perwakilan nya yang ada di daerah. Juga ditamabhkan oleh Rondinelly, bahwa dekonsentrasi memiliki dua bentuk diantara nya adalah Field Administration atau kita kenal dengan administrasi lapangan dimana penjabat lapangan diberikan kekuasaan unutk merencanakan, membuat keputusan-keputusan rutin dan menyesuiakan pelaksanaan nya dengan kebijakan pusat dengan kondisi setempat(daerah) dan kesemuanya itu dilakukan atas petunjuk dan biumbingan pemerintah pusat, Adapun yang kedua adalah Local Administration (Administrasi Lokal ) yang terdiri dari Integrated Local Administration (Adminstrasi Lokal Terpadu) dimana tenaga –tenaga dari depertemen pusat yang ditempatkan didaerah berada langsung dibawah perintah dan supervisi kepala daerah yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat, walaupun tenaga-tenaga tersebut diangkat dan digaji, dipromosikan, dimutasikan, oleh pemerintah pusat mereka tetap berkedudukan sebagai staff teknis kepala daerah dan bertanggung jawab kepadanya, sedangkan yang kedua adalah unintegration Local Administration (Adminstrasi Lokal yang tidak terpadu) tenaga-tenaga yang diangkat oleh pusat yang berada di daerah dan kepala daerah masing-masing berdiri sendiri mereka bertanggung jawab kepada masing-masing depertemen yang ada di pusat Delegasi Delegation To semi Autonomus adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan menejerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu oraganisasi yang tidak secara langsung berada dibawah pengawasan pemerintah pusat Devolusi Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintah diluar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagia fungsi teretntu kepada unit-unit untuk dilaksanakan secara mandiri Privatisasi Sedangkan bentuk terakhir dari desentralisasi adalah Privatisasi, menurut Rondinelly Privatiosation adalah (transfer of funcions From Government To Non Government Institution) artionya adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan swasta, dan swadaya masyarakat dan juga menjadi peleburan dari BUMN/ BUMD menjadi swastanisasi. Contoh Dalam beberapa hal pemerintah mentransfer beberapa kegiatan nya kepada KADIN (Kamar Dagang Dan Industri) unutk mengeluarkan izin, kemudian masalah yang menyangkut masalah sosial pemerintah memberikan kepada LSM
Pemberdayaan masyarkat umum di kenalkan sebagai “power transfer” kepada mereka yang tidak berdaya agar mereka mampu secara mandiri membuat keputusan atau tindakan terbaik untuk kehidupan masa depan. Dalam terminology pembangunan, secara praktis diartikan sebagai upaya untuk memampukan, melibatkan dan memberi tanggung jawab yang jelas kepada masyarakat dalam pengolahan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan. Dari dimensi politik pemberdayaan masyarakat dimaknai sebagai akses masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang melibatkan public atau masyarakat. Pemerintah, sebagai ‘agen perubahan’ dapat menerapkan kebijakan pemberdayaan masyarakat miskin dengan tiga arah tujuan, yaitu enabling, empowering, dan protecting. Enabling maksudnya menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Sedangkan empowering, bertujuan untuk memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan langkah-langkah nyata, yakni dengan menampung berbagai masukan dan menyediakan prasarana dan sarana yang diperlukan. Protecting, artinya melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur yang penting. Dengan sudut pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengamalan demokrasi. Friedmann (1994:76) mengemukakan:The empowerment approach, which is fundamental to an alternative development, place the emphasize on autonomy in the decision making of territorially organized communities, local self-relience (but not autrachy), direct (participatory) democracy and experiential social learning. Pendekatan pemberdayaan pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung (melalui partisipasi) demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Friedmann dalam hal ini menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas ekonomi saja tetapi juga secara politis sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar-menawar (bargaining position) baik secara nasional maupun internasional. Sebagai titik fokus dari pemberdayaan ini adalah aspek lokalitas, sebab civil society akan merasa lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal. Friedmann mengingatkan bahwa adalah sangat tidak realistis apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-struktur di luar civil society diabaikan. Sedangkan proses pemberdayaan bisa dilakukan melalui individu maupun kelompok, namun pemberdayaan melalui kelompok mempunyai keunggulan yang lebih baik, karena mereka dapat saling memberikan masukan satu sama lainnya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Konsep pemberdayaan masyarakat ini lebih luas hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net). Belakangan ini konsep tersebut dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang oleh Friedmann disebut sebagai alternative development, yang menghendaki inclusive democracy, economic growth, gender equality and intergenerational equity (Kartasamita, 1996). Strategi pembangunan Indonesia adalah peningkatan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya melalui arah kebijakan pembangunan sektoral dan pemberdayaan masyarakat (people empowering) terutama dipedesaan. Pembangunan desa bersifat multisektoral dalam arti pertama sebagai metode pembangunan masyarakat sebagai subyek pembangunan; kedua sebagai program dan ketiga sebagai gerakan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan dilandasi oleh kesadaran untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik (Setyono, 2002:34). Berdasarkan catatan statistik diketahui bahwa hampir 80% penduduk di Indonesia bertempat tinggal dipedesaan. Dengan jumlah penduduk yang besar dan komponen alam yang potensial akan mendapakan asset pembangunan, apabila dikembangkan dan diaktifkan secara intensif dan efektif untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa. Dalam Tap MPR No. IV Tahun 1999 tentang GBHN 1999-2004 mengamanatkan bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana. pembangunan system agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumberdaya alam adalah untuk mempercepat pembangunan pedesaan. Untuk visi, misi, wawasan pembangunan, arah dan pendalaman pembangunan menurut GBHN 1999-2004 yang dimanteli dengan pembangunan daerah, maka dikembangkan salah satu program pembangunan pedesaan yang berakar dari masyarakat yaitu Dana Pembangunan Desa / Kelurahan (DPD/K) Kebijakan dana pembangunan desa secara bottom up yang pada hakekatnya menjadi tidak lain dari suatu upaya politik developmentalism di desa, yang penyelenggaraannya ditekankan pada dua aspek yaitu pertama, menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya; kedua, mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang/peluang yang tercipta (A.Gany, 2001:5). Namun terjadi democracy crisis, suatu kondisi dimana proses pengambilan keputusan (kebijakan) yang menyangkut hajat hidup masyarakat, berjalan tanpa keterlibatan substansial (Moko,2001:3). Pembatasan akses rakyat desa dalam arena pengambilan kebijakan (political decision), para pengambil kebijakan menempatkan diri layaknya pihak yang memiliki otonomi untuk mengambil keputusan, meskipun tanpa partisipasi politik dan persetujuan dari rakyat desa (Juliantara, 2003:13). Kebijakan didesa lebih merupakan konvensi yang secara inkremental dibangun atau berupa cetusan-cetusan pemikiran aparat yang secara spontan dan sedikit impulsif diterapkan sebagai arah gerak laju desa (Gaffar, 2002:2). Mobilisasi partisipasi politik masyarakat melemah, yang ada hanya partisipasi pelaksanakan kegiatan gotong-royong, finansial masyarakat untuk kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan pemerintah desa. Partisipasi politik yang pluralistik dibatasi, partisipasi politik rakyat lebih diarahkan terutama pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh para elit penguasa (Mas’oed, 1997:16). Pelaksanaan program pembangunan desa oleh pemerintah telah membuat desa dan penduduknya menjadi semakin tidak berdaya secara politik. Proses pembangunan desa yang berjalan tidak menjadikan desa berubah, berkembang menjadi lebih baik dan lebih bermakna, namun sebaliknya. Ini menjadikan desa baik dari sosial, ekonomi maupun politik justru tetap berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Pembangunan yang dimaksudkan untuk membuat rakyat semakin banyak punya pilihan tentang masa depan yang diinginkan, namun program pembangunan pedesaan yang ditentukan tidak menciptakan harapan atau kemungkinan pilihan masyarakat (public choice) desa. Pembatasan partisipasi politik masyarakat dalam penerapan kebijakan pembangunan desa (Bangdes) berkaitan dengan masyarakat desa berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.4 Tahun 1981 mengenai sistem perencanaan pembangunan desa yang dalam pelaksanaannya cenderung bersifat top down, yang tidak menciptakan pilihan dan harapan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan menyangkut kepentingan masyarakat sangat minimal. Terjadi penyimpangan dari Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Desa bahwa kebijakan pembangunan desa (Bangdes) digunakan untuk program yang diprioritaskan masyarakat desa. Kartasasmita (1997), menyebutkan bahwa studi empiris banyak menunjukkan kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi (politik) masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menetang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal: 1. Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi estrem dirasakan merugikan. 2. Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut. 3. Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut. 4. Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan Sehingga pergeseran kebijakan program dana pembangunan desa yang komprehensif perlu keterlibatan politik masyarakat secara efektif dan dukungan berbagai sektor terpadu termasuk dukungan infrastruktur ekonomi yang tangguh memihak kepada kepentingan masyarakat sangat diperlukan guna mengakhiri pembatasan akses rakyat dalam proses pembangunan desa. Kebijakan program dana pembangunan desa, menitikberatkan pada aspek partisipasi politik masyarakat, respon terhadap program pembangunan dan aspek keberlanjutan program bagi masyarakat desa ditengah keberagaman kemampuan dan kepentingan masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang sangat terbatas akan mewujudkan pengembangan program pembangunan yang tidak melahirkan kelompok terpinggirkan baru (Mujani, 2002:125). Partisipasi politik masyarakat desa akan menghindari kebijakan program dana pembangunan desa yang sentralistik, dan ditujukan bentuk kepentingan politik masyarakat (A.Gany, 2001:5). Dengan mengacu pada upaya (political empowernment) masyarakat desa yang berprinsip pada lokalitas (Friedman, 1992:168) dan melepaskan diri dari paradigma yang bersifat dependency creating (Tjokrowinoto, 1996:41), maka dalam upaya menyukseskan pelaksanaan pembangunan diperlukan adanya partisipasi politik aktif dari masyarakat. Dalam era reformasi pada aras lokal dan sebagai upaya dalam rangka mengoptimalkan partisipasi politik masyarakat desa, inisiatif, inovatif, dan kreatif untuk mendorong kemajuan otonomi asli desa dan menegakkan demokrasi lokal yang selama ini “terpendam” dan telah dimiliki masyarakat, serta upaya pemberdayaan masyarakat desa mencakup community development dan community-based development. (Setyono, 2002:4). Selain itu dalam rangka pelaksanaan pembangunan desa diharapkan partisipasi politik aktif masyarakat untuk mengidentifikasi berbagai masalah pembangunan desa yang dihadapi dengan alternatif pemecahannya yang secara utuh dilaksanakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, pentingnya melihat pengaruh antara faktor sosial-ekonomi, politik, fisik dan budaya terhadap kualitas partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa.   BAB II PEMBAHASAN A. Politik Pembangunan Desa Mas’oed (!997:15) politik pembangunan desa lebih tertuju pada aspek politik dan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan ditingkat desa. Program pembangunan desa untuk membuat rakyat semakin banyak punya pilihan tentang masa depan yang diinginkan. Proses pembangunan desa menghasilkan tata kehidupan politik yang menumbuhkan demokrasi. Sehingga keputusan politik terhadap program pembangunan pedesaan bertujuan untuk mengembangkan kapasitas masyarakat, untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dan kesejahteraan masyarakat desa Berbagai program pembangunan desa dalam perencanaan partisipatif yang diterapkan oleh pemerintah yang secara umum untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat desa, tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Direktur Jenderal Pembangunan Desa) Nomor 414. 24/185/set 10 Juni 1996, bahwa dalam rangka penerapan metode P3MD terdapat 12 program/kegiatan umum yang erat kaitannya dengan arah pembangunan desa. Program tersebut ditujukan untuk : 1. Meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam pengambilan keputusan termasuk kelompok miskin dan perempuan; 2. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat dibidang pendidikan dan kesehatan; 3. Meningkatkan penyediaan prasarana sosial ekonomi masyarakat pedesaan; 4. Memperluas kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha bagi masyarakat; 5. Mengembangkan kapasitas masyarakat dalam merencanakan, menyelenggarakan, dan melestarikan pembangunan serta mengakses sumber daya yang tersedia; 6. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap program permbangunan dipedesaan. 7. Mengembangkan dan memperkuat kelembagaan pembangunan didesa. Berkaitan dengan entitas ekonomi dalam politik pembangunan yaitu tidak mengejar keuntungan pribadi atau kelompok untuk jangka pendek, tetapi menanamkan hakekat pembangunan desa yang transparan, bertanggung jawab, menguntungkan semua pihak dan berlangsung secara menyeluruh serta berkesinambungan.(Nugroho, 2000:138). Weaver (2002:7), politik pembangunan menyangkut keberhasilan pembangunan desa bisa dicapai, bila usaha-usaha pembangunan langsung ditujukan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan masyarakat memiliki akses pada sumber-sumber ekonomi dan politik, serta sebagai usaha memberdayakan masyarakat secara langsung. B. Pemberdayaan Politik Masyarakat Desa Memberdayakan politik masyarakat melalui pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan, Pembangunan desa tidak menempatkan rakyat desa sebagaai obyek, melainkan menempatkan rakyat desa pada posisi yang tepat sebagai subyek dalam proses pembangunan desa (Soemodiningrat, 1996:162). Pemberdayaan politik masyarakat harus dilakukan melalui 3 tahapan: a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, b. Memperkuat potensi, daya, sumberdaya, atau energi yang terdapat pada politik rakyat dan dimiliki masyarakat (empowering) dengan menyediakan input serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya memanfaatkan peluang, c. Melindungi masyarakat dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Pemberdayaan politik masyarakat bertujuan untuk melayani masyarakat (a spirit of public service) dan menjadi mitra kerjasama dengan masyarakat (co-production) mengutamakaan keberhasilan pembangunan desa.(Usman,2003:20). Juga untuk menuju political maturity dalam pembangunan desa berkaitan dengan sumberdaya dan institutional performance sebagai usaha untuk mempertinggi akses masyarakat desa yang berpaut dengan kebijakan masyarakat terhadap prioritas program pembangunan dan mekanisme pengelolaannya. Pemberdayaan politik masyarakat merupakan proses pembaruan desa yang dimaksudkan untuk mengembalikan masyarakat kedalam pusaran utama proses kehidupan berbangsa dan bernegara, dan menumbuhkan partisipasi politik masyarakat, dalam pencapaian hasil-hasil pembangunan desa. Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pembangunan Desa. Partisipasi politik masyarakat dalam rencana pembangunan harus sudah dimulai sejak saat perencanaan kemudian pelaksanaan dan seterusnya pemeliharaan. Surbakti (1992:16), Kegiatan masyarakat yang disebut partisipasi politik adalah perilaku politik lembaga dan para pejabat pemerintah yang bertanggung jawab membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan politik, perilaku politik masyarakat (individu/kelompok) yang berhak mempengaruhi lembaga dan pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan politik, karena menyangkut kehidupan masyarakat. Dalam perspektif politik, Huntington (1993:270), partisipasi politik masyarakat merupakan ciri khas modernisasi politik dalam pembangunan, kemajuan demokrasi dapat dilihat dari seberapa besar partisipasi politik masyarakat. (Tjokroamidjojo, 1991:113), pertama, partisipasi politik aktif masyarakat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijakan; kedua, keterlibatan dalam memikul hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Partisipasi politik masyarakat merupakan hal terpenting dalam pembangunan desa, yaitu akan menjadi wahana political education yang sangat baik. Sedangkan menurut Conyers(1994:154), “Pertama, partisipasi politik masyarakat sebagai alat guna memperoleh suatu informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat yang tanpa kehadirannya program pembangunan desa serta proyek akan gagal; kedua, masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan didesa, jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya dan pengambilan keputusan terhadap priritas pembangunan yang sesuai kebutuhan masyarakat, karena akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek; dan ketiga, yang mendorong partisipasi umum dibanyak negara karena timbul anggapan bahwa hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat.” Katz (165:100), partisipasi politik masyarakat diwujudkan melalui partisipasi politik dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi. Partisipasi politik dapat dianggap sebagai tolak ukur dalam menilai apakah proyek yang bersangkutan merupakan proyek pembangunan desa. Jika masyarakat desa, tidak berkesempatan untuk berpartisipasi politik dalam pembangunan suatu proyek didesanya. Proyek tersebut pada hakekatnya bukanlah proyek pembangunan desa (Ndraha, 1990:103). Partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa bertujuan untuk menjamin agar pemerintah selalu tanggap terhadap masyarakat atau perilaku demokratisnya. Dan itu juga berarti bahwa metode yang digunakan dalam pembangunan desa harus sesuai dengan kondisi fisiologis sosial dan ekonomi serta lingkungan kebudayaan didesa. (Bharracharyya,J, 1972:20) Dusseldorp (1994:10), salah satu cara untuk mengetahui kualitas partisipasi politik masyarakat dapat dilihat dari bentuk-bentuk keterlibatan seseorang dalam berbagai tahap proses pembangunan yang terencana mulai dari perumusan tujuan sampai dengan penilaian. Bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai usaha terorganisir oleh warga masyarakat untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya public policy. Sehingga kualitas dari hierarki partisipasi politik masyarakat dilihat dalam keaktifan atau kepasifan (apatis) dari bentuk partisipasi politik masyarakat. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat : 1. Faktor Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga. 2. Faktor Politik Arnstein S.R (1969) peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi : a. Komunikasi Politik. Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik baik secara aktual maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik. (Nimmo, 1993:8). Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika (Surbakti, 1992:119). b. Kesadaran Politik. Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik (Eko, 2000:14). Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan (Budiarjo, 1985:22). c. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil (Ramlan Surbakti 1992:196). d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu (Arnstein, 1969:215). Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik (Setiono,2002:65). Arnstein1969:215), kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat (Widodo, 2000:192), untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan (Cristina, 2001:71). 3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaga dan pranatanya (K. Manullang dan Gitting, 1993:13). 4. Faktor Nilai Budaya Gabriel Almond dan Sidney Verba (1999:25), Nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik (Soemitro 1999:27) atau peradapan masyarakat (Verba, Sholozman, Bradi, 1995). Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik. C. Kebijakan, Implementasi dan Evaluasi Dampaknya Kebijakan adalah bagian dari keputusan politik yakni program perilaku untuk mencapai tujuan masyarakat-pemerintah dan penyelenggara kebijakan Sehingga kebijakan merupakan hasil kegiatan politik. (Soenarko, 2000:4). Kebijakan merupakan usaha didalam maupun melalui pemerintahan untuk memecahkan masalah publik. Karenanya dalam Islamy (1992:17), menyebutkan tiga elemen kebijakan yaitu a. identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai; b. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; c. penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi. Warsito (2000:43), kebijakan pembangunan desa merupakan konsolidasi tingkat bawah oleh kelompok penguasa. Pye.W (1996:47), kebijakan pembangunan adalah proses penguatan nilai-nilai dan praktek demokrasi, yakni berlandaskan pada demokrasi dalam pengertian penerapan prinsip-prinsip fredoom, equality masyarakat dalam peran sertanya untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kebijakan pembangunan menjadi landasan dan arah bagi penyusunan konsep strategi pelaksanaan pembangunan dan merupakan manifestasi, dimana tujuan pembangunan yang dicapai melalui rumusan-rumusan pokok yang menjamin tercapainya tujuan pembangunan. Nugroho (2003:155), Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang. Implementasi bersifat interaktif dengan kegiatan kebijakan yang mendahuluinya. Jones (1970), model implementasi kebijakan yang dapat dikembangkan sebagai pilihan yang efektif adalah implementasi kebijakan publik yang partisipatif . Dalam evaluasi kebijakan yang mencakup timming evaluasi, William Dunn (1999:121) disebut sebagai evaluasi summatif, evaluasi proses pelaksanaan dan evaluasi konsekuensi (output) kebijakan dan / evaluasi dampak kebijakan, yang ditimbulkan baik positif maupun negatif dan mengacu pada perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh suatu implementasi kebijakan (Nugroho, 2003:95).   BAB III PENUTUP Memberdayakan politik masyarakat melalui pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan, Pembangunan desa tidak menempatkan rakyat desa sebagaai obyek, melainkan menempatkan rakyat desa pada posisi yang tepat sebagai subyek dalam proses pembangunan desa (Soemodiningrat, 1996:162). Pemberdayaan politik masyarakat harus dilakukan melalui 3 tahapan: a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, b. Memperkuat potensi, daya, sumberdaya, atau energi yang terdapat pada politik rakyat dan dimiliki masyarakat (empowering) dengan menyediakan input serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya memanfaatkan peluang c. Melindungi masyarakat dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Pemberdayaan politik masyarakat bertujuan untuk melayani masyarakat (a spirit of public service) dan menjadi mitra kerjasama dengan masyarakat (co-production) mengutamakaan keberhasilan pembangunan desa.(Usman,2003:20). Juga untuk menuju political maturity dalam pembangunan desa berkaitan dengan sumberdaya dan institutional performance sebagai usaha untuk mempertinggi akses masyarakat desa yang berpaut dengan kebijakan masyarakat terhadap prioritas program pembangunan dan mekanisme pengelolaannya. Pemberdayaan politik masyarakat merupakan proses pembaruan desa yang dimaksudkan untuk mengembalikan masyarakat kedalam pusaran utama proses kehidupan berbangsa dan bernegara, dan menumbuhkan partisipasi politik masyarakat, dalam pencapaian hasil-hasil pembangunan desa.
A. Teori Pembangunan Dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000). Istilah pembangunan dapat diartikan berbeda-beda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya bahkan antara negara satu dengan Negara lain. Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product (GNP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu Propinsi, Kabupaten atau Kota. Definisi pembangunan tradisional ini sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah struktur suatu negara menjadi negara industrialisasi. Kontribusi sektor pertanian mulai digantikan dengan kontribusi industri. Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Beberapa ekonom modern mulai mengedepankan dethronement of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi), pengentasan garis kemiskinan, pengurangan distribusi pendapatan yang semakin timpang, dan penurunan tingkat pengangguran yang ada. Jelasnya bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang multidimensional (Mudrajat, 2003). Beberapa ahli menganjurkan bahwa pembangunan daerah dari suatu daerah haruslah mencakup tiga inti nilai (Todaro,2000; Mudrajat, 2000;) 1. Ketahanan (Sustenance): Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan,papan, kesehatan dan proteksi) untuk mempertahankan hidup. 2. Harga diri ( Self Esteem ): Pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam arti luas pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan kebanggaan sebagai manusia yang berada di daerah itu 3. Freedom from servitude: Kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk berpikir, berkembang, berperilaku dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Salah satu aspek pembangunan wilayah (regional) adalah pembangunan ekonomi yang bertujuan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur. Perubahan struktur ekonomi dapat berupa peralihan dari kegiatan perekonomian ke nonpertanian, dari industri ke jasa, perubahan dalam skala unit-unit produksi, serta perubahan status kerja buruh. Karena itu konsep pembangunan wilayah (regional) sangat tepat bila didukung dengan teori pertumbuhan ekonomi, teori basis ekonomi, pusat pertumbuhan dan teori spesialisasi. Rahardjo Adisasmita (2005), menyatakan bahwa Pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, tehnologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan, kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas. Terdapat pula beberapa teori penting lainnya mengenai pembangunan ekonomi wilayah (regional) diantaranya menurut aliran Klasik yang dipelopori oleh Adam Smith dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi disebabkan karena faktor kemajuan tehnologi dan perkembangan jumlah penduduk. Sumbangan pemikiran aliran Neo Klasik tentang teori pertumbuhan ekonomi yaitu sebagai berikut : 1. Akumulasi modal merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi 2. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang gradual 3. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang harmonis dan kumulatif 4. Aliran Neo Klasik merasa optimis terhadap pertumbuhan (perkembangan). 5. Meskipun model pertumbuhan Neo Klasik ini telah banyak digunakan dalam analisis regional namun terdapat beberapa asumsi mereka yang tidak tepat antara lain, (a). Full employment yang terus menerus tidak dapat diterapkan pada system multi regional dimana persoalan–persoalan regional timbul disebabkan karena perbedaan-perbedaan geografis dalam hal tingkat penggunaan sumberdaya, dan (b). persaingan sempurna tidak bisa diberlakukan pada perekonomian regional dan spasial. Selanjutnya Todaro (1997) menyatakan bahwa, terdapat beberapa sumber strategis dan dominan yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Salah satu klasifikasinya adalah faktor fisik dan manajemen. Secara spesifik disebutkan terdapat 3 faktor atau komponen utama pertumbuhan ekonomi yaitu, akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja yang dianggap secara positif merangsang pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak angkatan kerja berarti semakin produktif, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestik. Namun ini tergantung pada kemampuan sistem perekonomian untuk menyerap dan mempekerjakan tambahan pekerja itu secara produktif. Faktor utama lainnya adalah kemajuan tehnologi. Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Disini, proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Beberapa ahli ekonomi pembangunan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan, dengan rasa aman dan tenteram yang dirasakan masyarakat luas (Lincolyn, 1999). Perroux yang terkenal dengan teori kutub pertumbuhan menyatakan bahwa pertumbuhan tidak muncul diberbagai daerah pada waktu yang bersamaan. Pertumbuhan hanya terjadi dibeberapa tempat yang merupakan pusat (kutub) pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda (Perroux, 1988 dalam Mudrajat , 2002). Selanjutnya Kuznets (Todaro, 2000), yang telah berjasa dalam memelopori analisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju mengemukakan bahwa, pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahapan berikutnya hal itu akan membaik. Observasi inilah yang kemudian terkenal secara luas sebagai konsep kurva U- terbalik dari Kuznets. Di sisi lain Hoover (1977), menerangkan bahwa teori pertumbuhan regional berbasis ekspor merupakan beberapa aktivitas disuatu daerah adalah basic, dengan kata lain pertumbuhannya menimbulkan serta menentukan pembangunan menyeluruh daerah tersebut. Sedangkan aktivitas-aktivitas lain (non-basic) merupakan konsekwensi dari pembangunan menyeluruhnya. Demikian pula menurut Bendavid-Val (1991), menyatakan bahwa semua pertumbuhan regional ditentukan oleh sektor basic, sedangkan sektor non-basic hanyalah yang mencakup aktivitas pendukung, seperti perdagangan, jasa-jasa perseorangan, produksi input untuk produk-produk di sektor basic, melayani industri-industri di sektor basic maupun pekerja-pekerja beserta keluarganya di sector basic, atau menurut Bachrul (2004), dikatakatan bahwa kegiatan-kegiatan basis adalah kegiatan yang mengekspor barang dan jasa diluar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan, sedangkan kegiatan bukan basis adalah kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh orang yang bertempat tinggal dalam batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Menurut model ini multiplier basis ekonomi dihitung menurut banyaknya tenaga kerja yang dipekerjakan. B. Strategi Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah Potensi ekonomi suatu daerah adalah kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang mungkin dan layak dikembangkan sehingga akan terus berkembang menjadi sumber penghidupan rakyat setempat bahkan dapat menolong perekonomian daerah secara keseluruhan untuk berkembang dengan sendirinya dan berkesinambungan (Soeparmoko, 2002). Telah diketahui bersama bahwa tujuan pembangunan ekonomi pada umumnya adalah peningkatan pendapatan riel perkapita serta adanya unsur keadilan atau pemerataan dalam penghasilan dan kesempatan berusaha. Dengan mengetahui tujuan dan sasaran pembangunan, serta kekuatan dan kelemahan yang dimiliki suatu daerah, maka strategi pengembangan potensi yang ada akan lebih terarah dan strategi tersebut akan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah atau siapa saja yang akan melaksanakan usaha di daerah tersebut. Oleh karena itu langkah-langkah berikut dapat dijadikan acuan dalam mempersiapkan strategi pengembangan potensi yang ada didaerah, sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi sektor-sektor kegiatan mana yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan masing-masing sector 2. Mengidentifikasi sektor-sektor yang potensinya rendah untuk dikembangkan serta mencari factor-faktor penyebab rendahnya potensi sektor tersebut untuk dikembangkan. 3. Mengidentifikasi sumberdaya (faktor-faktor produksi) yang ada termasuk sumberdaya manusianya yang siap digunakan untuk mendukung perkembangan setiap sektor yang bersangkutan. 4. Dengan model pembobotan terhadap variabel - variabel kekuatan dan kelemahan untuk setiap sektor dan sub-sektor, maka akan ditemukan sektor-sektor andalan yang selanjutnya dianggap sebagai potensi ekonomi yang patut dikembangkan di daerah yang bersangkutan. 5. Menentukan strategi yang akan ditempuh untuk pengembangan sektor-sektor andalan yang diharapkan dapat menarik sektor-sektor lain untuk tumbuh sehingga perekonomian akan dapat berkembang dengan sendirinya (self propelling) secara berkelanjutan (sustainable development) . C. Sektor Potensial Dalam Pengembangan Wilayah Persoalan pokok dalam pembangunan daerah sering terletak pada sumberdaya dan potensi yang dimiliki guna menciptakan peningkatan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut ada kerjasama Pemerintah dan masyarakat untuk dapat mengidentifikasi potensi-potensi yang tersedia dalam daerah dan diperlukan sebagai kekuatan untuk pembangunan perekonomian wilayah. Pengembangan wilayah diartikan sebagai semua upaya yang dilakukan untuk menciptakan pertumbuhan wilayah yang ditandai dengan pemerataan pembangunan dalam semua sektor dan pada seluruh bagian wilayah. Pertumbuhan ekonomi dapat terjadi secara serentak pada semua tempat dan semua sektor perekonomian, tetapi hanya pada titik-titik tertentu dan pada sektor-sektor tertentu pula. Disebutkan juga bahwa investasi diprioritaskan pada sektor-sektor utama yang berpotensi dan dapat meningkatkan pendapatan wilayah dalam jangka waktu relatif singkat (Glasson, 1990). Dari definisi tersebut diatas dimaksudkan bahwa wilayah yang memiliki potensi berkembang lebih besar akan berkembang lebih pesat, kemudian pengembangan wilayah tersebut akan merangsang wilayah sekitarnya. Bagi sektor yang memiliki potensi berkembang lebih besar cenderung dikembangkan lebih awal yang kemudian diikuti oleh perkembangan sektor lain yang kurang potensial. Dalam pengembangan wilayah, pengembangan tidak dapat dilakukan serentak pada semua sektor perekonomian akan tetapi diprioritaskan pada pengembangan sektorsektor perekonomian yang potensi berkembangnya cukup besar. Karena sektor ini diharapkan dapat tumbuh dan berkembang pesat yang akan merangsang sektor-sektor lain yang terkait untuk berkembang mengimbangi perkembangan sektor potensial tersebut. Perkembangan ekonomi suatu wilayah membangun suatu aktivitas perekonomian yang mampu tumbuh dengan pesat dan memiliki keterkaitan yang tinggi dengan sektor lain sehingga membentuk forward linkage dan backward linkage. Pertumbuhan yang cepat dari sektor potensial tersebut akan mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya yang pada akhirnya secara tidak langsung sektor perekonomian lainnya akan mengalami perkembangan. Jadi disimpulkan bahwa pengembangan suatu sektor ekonomi potensial dapat menciptakan peluang bagi berkembangnya sektor lain yang terkait, baik sebagai input bagi sektor potensial maupun sebagai imbas dari meningkatnya kebutuhan tenaga kerja sektor potensial yang mengalami peningkatan pendapatan. Hal inilah yang memungkinkan pengembangan sektor potensial dilakukan sebagai langkah awal dalam pengembangan perekonomian wilayah dan pengembangan wilayah secara keseluruhan. BAB III PEMBAHASAN Seorang perencana wilayah harus memiliki kemampuan untuk menganalisi potensi ekonomi wilayahnya. Hal ini terkait dengan kewajibannya di satu sisi menentukan sector-sektor riil yang perlu dikembangkan agar perekonomian daerah tumbuh cepat dan disisi lain mampu mengidentifikasikan factor-faktor yang membuat potensi sector tertentu rendah dan menentuk dkan apakah prioritas untuk mananggulangi kelemahan tersebut. Setelah otonomi daerah, masing-masing daerah sudah lebih bebas menetapkan sector/komoditi yang diprioritaskan pengembangannya. Kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sector yang memiliki keunggulan/kelemahan di wilayahnya menjadi semakin penting. Sector yang memiliki keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sector-sektor lain untuk berkembang. Ada beberapa alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan potensi relative perekonomian suatu wilayah. Alat analisi itu antara lain keunggulan komparatif, location quotient, dan analisis shift-share. A. Keunggulan Komparatif Istilah comparative advantage (keunggulan komparatif) mula-mula dikemukakan oleh David Ricardo (1917) sewaktu membahas perdagangan antara dua Negara. Dalam teori tersebut, ia membuktikan bahwa apabila ada dua Negara yang saling berdagang dan masing-masing mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang yang bagi Negara tersebut memiliki keunggulan komparatif maka kedua Negara tersebut akan beruntung. Ternyata ide tersebut bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional tetapi juga sangat penting diperhatikan dalam ekonomi regional. Keunggulan komparatif suatu komoditi bagi suatu Negara atau daerah adalah bahwa komoditi itu lebih unggul secara relative dengan komoditi lain didaerahnya. Pengertian unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk perbandingan dan bukan dalam bentuk nilai tambah riil. Apakah keunggulan itu adalah dalam bentuk nilai tambah rill maka dinamakan keunggulan absolute. Komoditi yang memiliki keunggulan walaupun hanya dalam bentuk perbandingan, lebih menguntungkan untuk dikembangkan dibandingkan dengan komoditi lain yang sama-sama diproduksi oleh kedua Negara atau daerah. Dalam perdagangan bebas antara daerah, mekanisme pasar mendorong masing-masing daerah bergerak kearah sector yang daerahnya memiliki keunggulan komparatif. Akan tetapi, mekanisme pasar sering kali bergerak lambat dalam mengubah struktur ekonomi suatu daerah. Pengetahuan akan keunggulan komparatif suatu daerah dapat digunakan para penentu kebijakan. Berdasarkan pengalaman negara-negara maju, pertumbuhan yang cepat dalam sejarah pembangunan suatu bangsa biasanya berawal dari pengembangan beberapa sektor primer. Pertumbuhan cepat tersebut menciptakan efek bola salju (snow ball effect) terhadap sektor-sektor lainnya, khususnya sektor sekunder. Pembangunan ekonomi dengan mengacu pada sektor unggulan selain berdampak pada percepatan pertumbuhan ekonomi juga akan berpengaruh pada perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Pengertian sektor unggulan pada dasarnya dikaitkan dengan suatu bentuk perbandingan, baik itu perbandingan berskala internasional, regional maupun nasional. Pada lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain. Sedangkan pada lingkup nasional, suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain, baik di pasar nasional ataupun domestik (Tambunan, 2001). Penentuan sektor unggulan menjadi hal yang penting sebagai dasar perencanaan pembangunan daerah sesuai era otonomi daerah saat ini, di mana daerah memiliki kesempatan dan kewenangan untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan potensi daerah demi mempercepat pembangunan ekonomi daerah untuk peningkatan kemakmuran masyarakat. Menurut Rachbini (2001) data PDRB merupakan informasi yang sangat penting untuk mengetahui output pada sektor ekonomi dan melihat pertumbuhan di suatu wilayah tertentu (provinsi/kabupaten/kota). Dengan bantuan data PDRB, maka dapat ditentukannya sektor unggulan (leading sektor) di suatu daerah/wilayah. Sektor unggulan adalah satu grup sektor/subsektor yang mampu mendorong kegiatan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan di suatu daerah terutama melalui produksi, ekspor dan penciptaan lapangan pekerjaan, sehingga identifikasi sektor unggulan sangat penting terutama dalam rangka menentukan prioritas dan perencanaan pembangunan ekonomi di daerah. Manfaat mengetahui sektor unggulan, yaitu mampu memberikan indikasi bagi perekonomian secara nasional dan regional. Sektor unggulan dipastikan memiliki potensi lebih besar untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama adanya faktor pendukung terhadap sektor unggulan tersebut yaitu akumulasi modal, pertumbuhan tenaga kerja yang terserap, dan kemajuan teknologi (technological progress). Penciptaan peluang investasi juga dapat dilakukan dengan memberdayakan potensi sektor unggulan yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan Rachbini (2001). Keunggulan komperatif bagi suatu komoditi bagi suatu negara atau daerah adalah bahwa komoditi itu lebih unggul secara relatif dengan komoditi lain di daerahnya. Pengertian unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk perbandingan dan bukan dalam bentuk nilai tambah riil. Keunggulan komperatif adalah suatu kegiatan ekonomi yang secara perbandingan lebih menguntungkan bagi pengembangan daerah (Tarigan, 2005). Sedangkan sektor unggulan menurut Tumenggung (1996) adalah sektor yang memiliki keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif dengan produk sektor sejenis dari daerah lain serta memberikan nilai manfaat yang besar. Sektor unggulan juga memberikan nilai tambah dan produksi yang besar, memiliki multiplier effect yang besar terhadap perekonomian lain, serta memiliki permintaan yang tinggi baik pasar lokal maupun pasar ekspor (Mawardi, 1997). B. Analisis Location Quotient ( LQ ) Metode Location Quotient (LQ) adalah salah satu tehnik pengukuran yang paling terkenal dari model basis ekonomi untuk menentukan sektor basis atau non basis (Prasetyo, 2001 : 41-53; Lincolyn, 1997: 290). Analisis LQ dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan merumuskan komposisi dan pergeseran sektor-sektor basis suatu wilayah dengan menggunakan produk domestik regional bruto (PDRB) sebagai indikator pertumbuhan wilayah. Dengan dasar pemikiran economic base kemampuan suatu sektor dalam suatu daerah dapat dihitung dari rasio berikut : LQ = ( Lij/LJ ) / ( Nip/Np) Keterangan: Lij = Nilai tambah sektor i di daerah j (Kabupaten/Kota) Lj = Total nilai tambah sektor di daerah j Nip = Nilai tambah sektor i di daerah p (Propinsi/ Nasional) Np = Total nilai tambah sektor di p P = Propinsi /Nasional Lij/Lj = Prosentasi employment regional dalam sektor i Nip/Np = Prosentase employment nasional dalam sektor I Atau melalui formulasi berikut: V1R / VR LQ = ------------- V1 / V Dimana : V1R = Juml;ah PDRB suatu sektor kabupaten / kota VR = Jumlah PDRB seluruh sektor kabupaten/kota V1 = Jumlah PDRB suatu sektor tingkat propinsi V = Jumlah PDRB seluruh sektor tingkat propinsi Berdasarkan hasil perhitungan LQ tersebut dapat dianalisis dan disimpulkan sebagai berikut • Jika LQ > 1, merupakan sektor basis, artinya tingkat spesialisasi Kabupaten / kota lebih tinggi dari tingkat propinsi • Jika LQ = 1 , berarti tingkat spesialisasi kabupaten / kota sama dengan ditingkat propinsi • Jika LQ <1, adalah merupakan sektor non basis, yaitu sektor yang tingkat Spesialisasi kabupaten/kota lebih rendah dari tingkat propinsi. Penggunaan LQ ini sangat sederhana dan banyak digunakan dalam analisis sektor-sektor basis dalam suatu daerah. Namun teknik ini mempunyai suatu kelemahan karena berasumsi bahwa permintaan disetiap daerah adalah identik dengan pola permintaan nasional, bahwa produktivitas tiap tenaga kerja disetiap daerah sector regional adalah sama dengan produktivitas tiap tenaga kerja dalam industri nasional, dan bahwa perekonomian nasional merupakan suatu perekonomian tertutup. Sehingga perlu disadari bahwa: [i] Selera atau pola konsumsi dan anggota masyarakat itu berbeda–beda baik antar daerah maupun dalam suatu daerah. [ii] Tingkat konsumsi rata-rata untuk suatu jenis barang untuk setiap daerah berbeda. [iii] Bahan keperluan industri berbeda antar daerah. Walaupun teori ini mengandung kelemahan, namun sudah banyak studi empirik yang dilakukan dalam rangka usaha memisahkan sektor-sektor basis – bukan basis. Disamping mempunyai kelemahan, metode ini juga mempunyai dua kebaikan penting, pertama ia memperhitungkan ekspor tidak langsung dan ekspor langsung. Kedua metode ini tidak mahal dan dapat diterapkan pada data historik untuk mengetahui trend (Prasetyo, 2001) Metode ketiga, yakni kebutuhan minimum (minimum requirements) adalah modifikasi dari metode LQ dengan menggunakan distribusi minimum dari employment yang diperlukan untuk menopang industri regional dan bukannya distribusi rata–rata. Untuk setiap daerah yang pertama dihitung adalah persentase angkatan kerja regional yang dipekerjakan dalam setiap industri. Kemudian persentase itu diperbandingkan dengan perhitungan hal-hal yang bersifat kelainan dan persentase terkecil dipergunakan sebagai ukuran kebutuhan minimum bagi industri tertentu. Persentase minimum ini dipergunakan sebagai batas dan semua employment di daerah-daerah lain yang lebih tinggi dari persentase dipandang sebagai employment basis. Proses ini dapat diulangi untuk setiap industri di daerah bersangkutan untuk memperoleh employmen basis total.Dibandingkan dengan metode LQ, metode ini malahan lebih bersifat arbiter karena sangat tergantung pada pemilihan persentase minimum dan tingkat disagregasidisagregasi yang terlalu terperinci malahan dapat mengakibatkan hampir semua sector menjadi kegiatan basis atau ekspor. Teori basis ini mempunyai kebaikan mudah diterapkan, sederhana dan dapat menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah dan dampak umum dari perubahanperubahan jangka pendek. Keterbatasan teori ini tidak terlalu ketat dan dapat menjadi landasan yang sangat bermanfaat bagi peramalan jangka pendek . C. Analisis shift-share : Pada dasarnya analisis ini membahas hubungan antara pertumbuhan wilayah dan struktur ekonomi wilayah, untuk mengetahui perubahan struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi di daerah dibandingkan dengan perekonomian daerah yang lebih tinggi digunakan analisis Shift- Share. Menurut Bendavid - Val (1983), Hoover (1984) (Lihat Prasetyo, 1993: 44) tehnik ini menggambarkan performance (kinerja) sektorsektor di suatu wilayah dibandingkan kinerja sektor-sektor perekonomian nasional. Dengan demikian dapat temukan adanya shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah, bila daerah itu memperoleh kemajuan lebih lambat atau lebih cepat dari kemajuan nasional. Lincolyn Arsyad (1997: 290) dan Latif Adam (1994), mengemukakan bahwa analisis shift-share merupakan teknik yang sangat berguna dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Tehnik ini membandingkan laju pertumbuhan sektor-sektor di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya, dan mengamati penyimpangan-penyimpangan dari perbandingan-perbandingan itu. Bila penyimpangan itu positif, hal itu disebut keunggulan kompetitif dari suatu sektor dalam wilayah tersebut. Tehnik shift–share ini membagi pertumbuhan sebagi perubahan (D) suatu variabel wilayah, seperti kesempatan kerja, nilai tambah, pendapatan atau output, selama kurun waktu tertentu menjadi pengaruh-pengaruh pertumbuhan nasional (N), bauran industri M dan keunggulan kompetitif (C) (Bendavid-Val, 1991). Pengaruh pertumbuhan nasional disebut pengaruh pangsa (share), pengaruh bauran industri disebut proporsional shift atau bauran komposisi, dan akhirnya pengaruh keunggulan kompetitif dinamakan pula differential shift atau regional share. Itulah sebabnya disebut tehnik shift–share. Berikut terdapat beberapa rumusan analisa shift share antara lain tehnik analisa shift – share Klasik dengan formulasi sebagai berikut : Untuk industri atau sektor i di wilayah j : (1) Dij = Nij + Mij + Cij Bila analisis itu diterapkan kepada kesempatan kerja (employment), E, maka : (2) Dij = E*ij - Eij (3) Nij = Eij.rn (4) Mij = Eij ( rin – rn ) (5) Cij = Eij (rij – rin ) Dimana : rin , rn dan rij mewakili laju pertumbuhan wilayah dan laju pertumbuhan nasional yang masing-masing didefinisikan sebagai : (6) rij = (E*ij - Eij ) / Eij (7) rin = ( E* in – Ein ) / Ein (8) rn = ( E* n – En ) / En dimana : Eij = tenaga kerja disektor i di wilayah j Ein = kesempatan kerja disektor i ditingkat nasional, dan En = kesempatan kerja nasional, semuanya diukur pada suatu tahun dasar. Untuk suatu wilayah, pertumbuhan nasional, bauran industri dan keunggulan kompetitif dapat ditentukan bagi sesuatu sektor i atau dijumlah untuk semua sektor sebagai keseluruhan wilayah. Persamaan shift-share untuk sektor i di wilayah j adalah : (9) Dij = Eijrn + Eij (rin – rn ) + Eij (rij – rin) Dari persamaan diatas membebankan tiap sektor wilayah dengan laju pertumbuhan yang setara dengan laju yang dicapai oleh perekonomian nasional selama kurun waktu analisis. Dalam penggunaan analysis shift-share diatas (model Klasik) harus mempertimbangkan keterbatasan teoritik yang ada. Menururt Prasetyo Soepono (1993) mencatat empat keterbatasan teoritik dari analysis shift-share ini yaitu: [i] Persamaan shift-share adalah suatu persamaan identitas sehingga tidak mempunyai implikasi- implikasi keperilakuan. Karena itu metode bukan untuk menjelaskan dan tidak analitik tetapi hanya mencerminkan suatu sistem akunting. [ii] Pertumbuhan industri pada suatu wilayah dibebani laju pertumbuhan yang ekuivalen dengan laju pertumbuhan tingkat nasional. Gagasan ini sangat sederhana sehingga dapat mengaburkan sebab- sebab pertumbuhan suatu wiiayah. [iii] Arti ekonomi dari dua komponen shift tidak dikembangkan dengan baik, sehingga tidak mudah dibedakan / dipisahkan. [iv] Analyisis shift-share mengasumsikan bahwa semua barang yang dijual secara nasional. Asumsi ini kurang realistis karena suatu barang yang bersifat lokal tidak bersaing dengan barang sejenis yang dihasilkan wilayah lain sehingga barang yang bersangkutan tidak memperoleh bagian dari permintaan agregat. Selanjutnya Estaban Marquillas (E-M) tahun 1972 ( Prasetyo, 1993) berusaha memodifikasi analisis shift-share ini sehingga terlihat pengaruh persaingan yang meliputi pengaruh persaingan dan pengaruh alokasi yang pada nantinya dapat menunjukkan keunggulan kompetitif dan sektor spesialisasi. Persamaan S-S yang direvisi itu mengandung suatu unsur baru, yaitu homothetic employment di sektor i di wilayah j, diberi notasi E’ij dan dirumuskan sebagai berikut : E’ij = Ej ( Ein / En )E’ ij di definisikan sebagai employment atau output atau pendapatan atau nilai tambah yang dicapai sektor i diwilayah j bila struktur kesempatan kerja diwilayah itu sama dengan struktur nasional. Dengan mengganti kesempatan kerja nyata, Eij, dengan homothetic employment, E’ ij, persamaan (5) diubah menjadi : C’ij = E’ ij ( rij - rin )C’ ij mengukur keunggulan atau ketidak-unggulan kompetitif di sektor I di perekonomian suatu wilayah. Selanjutnya pengaruh alokasi atau allocation effect sektor i diwilayah j ( Aij ) dirumuskan sebagai berikut Aij = ( Eij - E’ij ) ( rij - rin ) Persamaan diatas menunjukkan bahwa bila suatu wilayah mempunyai spesialisasi di sektor-sektor tertentu, maka sektor-sektor itu juga menikmati keunggulan kompetitif yang lebih baik. Maksudnya efek alokasi, Aij itu dapat positif atau negatif. Efek alokasi positif mempunyai dua kemungkinan: pertama, Eij - E’ij <0 dan rij - rin < 0 dan kedua, Eij - E’ij > 0 dan rij - rin > 0. sebaliknya efek alokasi yang negatif mempunyai dua kemungkinan yang berkebalikan dengan efek alokasi positif tersebut diatas. Jadi modifikasi E-M terhadap analisis shift-share adalah : Dij = Eij (rn) + Eij (rij - rn ) + E’ij ( rij - rin ) + ( Eij - E’ij ) ( rij - rin ) Modifikasi selanjutnya terhadap analisis S-S adalah dikemukakan oleh Arcelus (1984) adalah dengan memasukkan sebuah komponen yang merupakan dampak pertumbuhan interen suatu wilayah atas perubahan (kesempatan kerja) wilayah. Modifikasi ini mengganti Cij dengan sebuah komponen yang disebabkan oleh pertumbuhan wilayah dan sebuah komponen bauran industri regional sebagai sisanya. Penekanan Arcelus terletak pada komponen kedua yang mencerminkan adanya aglomeration economies (penghematan biaya persatuan karena kebersamaan lokasi satuan-satuan usaha). Untuk menjelaskan regional growth effect berikut ini dirumuskan sebagai berikut : Rij = E’ij ( rij - rn ) + ( Eij - E’ij ) ( rj - rn ) Dimana : E’ij = homothetic employment sektor i di wilayah j Eij = employment disektor i di wilayah j rj = laju pertumbuhan wilayah j rn = laju pertumbuhan nasional Selanjutnya rumus berikut : Rij =E’ij (rij - rj) - (rin - rn ) + ( Eij - E’ij ) [( rij - rj ) - (rin- rn)] Menggambarkan komponen bauran industri regional yang dimodifikasi olehArcelus. DAMPAK POSITIF DAN NEGATIFNYA DARI PEMBANGUNAN Dampak Positif Pembangunan Ekonomi • Melalui pembangunan ekonomi, pelaksanaan kegiatan perekonomian akan berjalan lebih lancar dan mampu mempercepat proses pertumbuhan ekonomi. • Adanya pembangunan ekonomi dimungkinkan terciptanya lapangan pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat, dengan demikian akan mengurangi pengangguran. • Terciptanya lapangan pekerjaan akibat adanya pembangunan ekonomi secara langsung bisa memperbaiki tingkat pendapatan nasional. • Melalui pembangunan ekonomi dimungkinkan adanya perubahan struktur perekonomian dari struktur ekonomi agraris menjadi struktur ekonomi industri, sehingga kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh negara akan semakin beragam dan dinamis. • Pembangunan ekonomi menuntut peningkatan kualitas SDM sehingga dalam hal ini, dimungkinkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berkembang dengan pesat. Dengan demikian, akan makin meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak Negatif Bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, selain mempunyai dampak positif, ternyata pembangunan ekonomi juga mempunyai dampak negatif. Dari segi positif sudah jelas bahwa pembangunan ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pendapatan nasional. Namun, pembangunan ekonomi juga berdampak negatif bagi kelestarian alam, diantaranya dengan berkurangnya sumberdaya alam akibat eksploitasi berlebihan, pencemaran udara akibat polusi industri dan pembangunan infrastruktur perekonomian yang identik dengan perusakan alam. Hal tersebut menimbulkan satu pertanyaan, apakah pembangunan ekonomi selalu identik dengan perusakan alam? Tulisan berikut ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut secara lebih mendalam. Tidak dapat dipungkiri bahwa perekonomian merupakan sektor penting yang harus senantiasa dikembangkan karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, di tengah maraknya pembangunan perekonomian dewasa ini, terjadi masalah dilematis yang cukup pelik, yaitu menyangkut disharmonitas antara pembangunan perekonomian pada satu sisi dan pelestarian alam pada sisi yang lain. Berkurangnya sumberdaya alam, polusi pabrik dan alih fungsi lahan hijau menjadi lahan perekonomian, merupakan contoh akibat dari pembangunan ekonomi yang tidak selaras dengan pelestarian alam. Tuntutan percepatan pertumbuhan ekonomi, seperti yang terjadi di negara-negara sedang berkembang, menuntut semakin banyak pula sumberdaya alam yang diambil sehingga menyebabkan semakin sedikit jumlah persediaan sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian, ada hubungan yang positif antara jumlah dan kualitas sumberdaya alam dengan pertumbuhan ekonomis, tetapi sebaliknya ada hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan persediaan sumberdaya alam di dalam bumi. Pertumbuhan ekonomi juga mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan karena percepatan pertumbuhan ekonomi biasanya diikuti dengan peningkatan sektor industri. Dengan meningkatnya sektor industri tingkat pencemaran terhadap lingkungan akibat limbah proses produksi juga meningkat. Proses industrialisasi tidak hanya menciptakan jumlah total produksi yang meningkat tetapi juga meningkatkan jumlah polusi dari sisa produksi. Polusi akibat sisa produksi apabila tidak ditangani secara baik akan menimbulkan pemcemaran bagi lingkungan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga secara tidak langsung kerap mendatangkan masalah bagi masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi selalu berkorelasi positif dengan pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan perekonomian yang tentu saja membutuhkan lahan. Namun, semakin hari lahan yang tersedia semakin terbatas, akibatnya banyak lahan yang seharusnya diperuntukan sebagai hutan lindung atau sebagai daerah resapan air dialihfungsikan menjadi kawasan perekonomian. Banjir yang ‘rajin’ mengunjungi Jakarta merupakan salah satu contoh akibat alih fungsi daerah resapan air yang menjadi masalah bagi masyarakat. Setelah mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan oleh pembangunan ekonomi yang berkorelasi negatif dengan pelestarian alam, lantas muncul pertanyaan, Bisakah terjadi harmonisasi antara pembangunan ekonomi dengan pelestarian alam? jawabannya adalah bisa. Dampak negatif dari proses pembangunan ekonomi dapat dicegah salah satunya adalah melalui program pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan di bidang ekonomi yang tidak hanya berorientasi hasil untuk saat ini tetapi juga berorientasi pada masa depan dengan titik fokus pada keberlangsungan pelestarian lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa barometer keberhasilan sebuah pembangunan adalah keselarasan antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pembangunan berkesinambungan yang ditandai dengan tidak terjadinya kerusakan sosial dan kerusakan alam. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan harus diterapkan demi keberlanjutan kehidupan karena akan menjamin keberlanjutan eksistensi alam dan lingkungan hidup. Jadi, secara ringkas dapat dikatakan bahwa pembangunan ekonomi yang semata-mata ditujukan untuk memperoleh keuntungan tanpa memperhatikan keberlangsungan alam dan lingkungan akan membawa dampak negatif tidak hanya bagi alam tetapi juga bagi masyarakat. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah berkurangnya sumberdaya alam, pencemaran udara akibat polusi industri dan pembangunan infrastruktur yang identik dengan perusakan alam. Namun, hal tersebut dapat dicegah dengan menerapkan program pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Kesimpulan • Jadi disimpulkan bahwa pengembangan suatu sektor ekonomi potensial dapat menciptakan peluang bagi berkembangnya sektor lain yang terkait, baik sebagai input bagi sektor potensial maupun sebagai imbas dari meningkatnya kebutuhan tenaga kerja sektor potensial yang mengalami peningkatan pendapatan. Hal inilah yang memungkinkan pengembangan sektor potensial dilakukan sebagai langkah awal dalam pengembangan perekonomian wilayah dan pengembangan wilayah secara keseluruhan. • Keunggulan komperatif bagi suatu komoditi bagi suatu negara atau daerah adalah bahwa komoditi itu lebih unggul secara relatif dengan komoditi lain di daerahnya. Pengertian unggul dalam hal ini adalah dalam bentuk perbandingan dan bukan dalam bentuk nilai tambah riil. • Penggunaan LQ ini sangat sederhana dan banyak digunakan dalam analisis sektor-sektor basis dalam suatu daerah. Namun teknik ini mempunyai suatu kelemahan karena berasumsi bahwa permintaan disetiap daerah adalah identik dengan pola permintaan nasional, bahwa produktivitas tiap tenaga kerja disetiap daerah sector regional • adanya shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah, bila daerah itu memperoleh kemajuan lebih lambat atau lebih cepat dari kemajuan nasional. Lincolyn Arsyad (1997: 290) dan Latif Adam (1994), mengemukakan bahwa analisis shift-share merupakan teknik yang sangat berguna dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Saran – Saran • Pemerintah perlu menetapkan kebijakan pembangunan dengan prioritas sektor unggulan/basis di masing-masing kabupaten/kota, dengan tetap memperhatikan sektor non basis secara proporsional. • Perlu mengenal secara baik daerah yang mempunyai potensi ekonomi spesialis (PES) dan potensi ekonomi rendah (PER), agar bijak dalam menentukan skala prioritas pembangunan, sehingga dapat merubah posisi Kabupaten/Kota masuk pada tipologi daerah yang lebih baik atau meminimalisir keberadaan kabupatenkabupaten pada tipologi daerah tertinggal. • Perlu melakukan revitalisasi semua sektor dimulai dari sektor yang memiliki nilai LQ>1 kemudian LQ<1, serta memacu peningkatan produktifitas dan profesionalitas dalam mengelola sektor-sektor potensial agar mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif untuk dapat meningkatkan pendapatan daerah baik Kabupaten/Kota maupun Propinsi. • Bagi investor yang ingin berinvestasi diharapkan bahan ini dapat dijadikan salah satu acuan dalam memperhatikan sektorsektor yang potensial untuk dikembangkan serta prioritas pengembangan masingmasing sektor di Kabupaten/Kota.
Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info